Perbedaan Mediasi, Negosiasi dan Arbitrase

Sengketa dapat terjadi dalam setiap hubungan hukum, terutama disebabkan keadaan dimana pihak yang satu dihadapkan pada kepentingan yang berbeda dengan pihak lainnya. Komar Kantaatmadja mengemukakan bahwa sengketa terjadi jika salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak untuk melakukan hal yang demikian.[1] Berdasar hal tersebut, tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut, adalah tindakan yang harus diselesaikan. Sebab, jika tidak terselesaikan akibat hukum yang diterima tentu akan lebih besar juga.
Sengketa adalah suatu proses yang wajar dan alami dalam kehidupan manusia, serta secara alami derajat eskalasi, kompleksitas, dan bobot risiko suatu sengketa sangat bervariasi, sehingga sudah wajar apabila penanganan dan penyelesaiannya menuntut variasi pula.[2] Dalam praktiknya, penyelesaian tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan ataupun di luar pengadilan dengan mekanisme musyawarah atau kekeluargaan. Perlu diperhatikan juga, apabila memaksakan penyelesaian melalui jalur pengadilan, untuk memenuhi kebutuhan bobot variasi tersebut, maka dapat menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. secara ringkas, dapat dikatakan bahwa kebutuhan akan penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah salah satu cerminan adanya respon akan pemenuhan penyelesaian dan penanganan terhadap perselisihan yang bervariasi tersebut. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini biasanya disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika, kemudian di Indonesia disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).[3] APS sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU APS).
Menurut Pasal 1 Angka 10 UU APS, yang dimaksud dengan APS adalah Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak dengan penyelesaian di luar pengadilan melalui 5 (lima) cara di antaranya Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Penilaian Ahli dan Arbitrase. Untuk pembahasan artikel ini, membahas 3 (tiga) bentuk APS dan tata cara penyelesaiannya yakni Mediasi, Negosiasi dan Arbitrase.
Mediasi
Mediasi merupakan salah satu APS untuk melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Cakupan yang dapat untuk diterapkannya mediasi di antaranya merupakan sengketa sewa menyewa, gugatan konsumen, perlindungan konsumen, perceraian dan pembagian harta, dan lain-lain.[4] Mediasi dapat dilakukan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi di dalam pengadilan merupakan bagian dari litigasi, hakim meminta para pihak untuk mengusahakan penyelesaian sengketa mereka dengan cara menggunakan proses mediasi sebelum proses mediasi dilanjutkan.[5] Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma 1/2016) bahwa Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator.
Mengenai mediasi di luar pengadilan, dapat ditemukan pengaturannya dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (3), (4) dan (5) UU APS bahwa terhadap sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi, maka penyelesaian sengketa diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, sehingga dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar.
Mediasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang sebagai fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Mediasi sendiri, dapat dilakukan jika sengketa perdata telah diajukan di Pengadilan, hakim memiliki kewajiban untuk mengadakan penyelesaian secara mediasi terlebih dahulu. Lebih lanjut silahkan baca artikel kami berjudul Mediasi didalam Pengadilan.
Negosiasi
Negosiasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dianggap berhasil apabila para pihak berhasil mencapai pada kesepakatan dan kesesuaian dengan kehendak, dapat diukur dengan uang. Pendekatan yang digunakan adalah problem solving, yang menekankan pada tercapainya kehendak para pihak serta mencari titik temu untuk memuaskan para pihak. Negosiasi dalam penerapannya di Indonesia merupakan penyelesaian yang selaras dengan budaya musyawarah mufakat yang terdapat di bangsa Indonesia.[6]
Istilah negosiasi tidak diatur secara eksplisit dalam UU APS, merujuk ketentuan Pasal 6 Ayat (2) UU APS bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul dalam pertemuan langsung dan hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Selain dari ketentuan tersebut tidak diatur lebih lanjut mengenai “negosiasi” sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa oleh para pihak.
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.[7] Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho bahwa negosiasi adalah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.
Arbitrase
Dalam penyelesaian melalui Arbitrase, para pihak melalui klausul yang disepakati dalam perjanjian, menundukkan diri untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian kepada pihak ketiga yang netral dan bertindak sebagai arbiter. Pasal 1 Angka 1 UU APS menyebutkan bahwa:
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sementara itu, Arbiter sendiri adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi atau konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
Dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), mengatur terkait dengan keberadaan arbitrase yang menyatakan bahwa ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase. Dengan demikian, penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui perdamaian atau arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi putusan arbiter hanya memiliki kekuatan eksekutorial setelah memperoleh eksequatur atau perintah untuk menjalankan dari pengadilan.[8] Agar lebih memahami, silahkan baca artikel kami yang berjudul Beracara di Lembaga Arbitrase.
Arbitrase dilakukan apabila para pihak yang berperkara telah menyepakati sengketa tersebut diselesaikan melalui Arbitrase. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak didasarkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidaklah membahas mengenai pelaksanaan perjanjian tetapi bagaimana cara penyelesaian dan penunjukkan lembaga yang berwenang untuk menyelesaiakan perselisihan yang terjadi antara para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, bahwa Arbitrase dapat dilakukan oleh Lembaga Arbitrase. Di Indonesia sendiri terdapat BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal) dan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia). Sementara, apabila sengketa tersebut menyangkut 2 (dua) negara atau sudah menjangkau dunia internasional, maka penyelesaiannya juga diselesaikan oleh lembaga Arbitrase Internasional. Adapun lembaga Arbitrase Internasional ialah sebagai berikut:
- The International Chamber of Commerce (ICC) berkedudukan di Paris.
- London Court of International Arbitration (LCIA) berkedudukan di London
- Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC) berkedudukan di Hongkong
- Singapore International Arbitrase Centre (SIAC) berkedudukan di Singapura
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, 3 (tiga) bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki perbedaan yang mendasar dalam praktik penyelesaiannya. Secara umum penyelesaian yang dekat dengan masyarakat Indonesia ialah dengan bentuk penyelesaian secara mediasi dan negosiasi. Sementara Arbitrase, seringkali digunakan apabila sengketa yang kaitannya dengan bisnis dan para pihak yang terlibat juga seringkali berasal dari badan usaha-badan usaha yang ada di Indonesia maupun di luar Indonesia sendiri. Berikut kami uraikan dalam bentuk tabel, sebagai berikut:
| Unsur Perbandingan | Negosiasi | Mediasi | Arbitrase |
| Dasar Hukum | Merujuk ketentuan Pasal 6 Ayat (2) UU APS bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa. |
|
|
| Pihak Ketiga |
Tidak ada |
Mediator | Arbiter |
| Kekuatan Putusan | Mengikat Para Pihak | Mengikat Para Pihak | Final and Binding |
| Lembaga Pelaksana | Tidak ada |
|
|
[1] Komar Kantaatmadja, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 3
[2] Emmy Yuhassarie, Proceding Arbitrase dan Mediasi, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2003, hlm. 7
[3] Rachmadi Usmani. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktik. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 8
[4] Erman Radja Guk Guk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 103
[5] Asmawati, Mediasi Salah Satu Cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan. Jurnal Ilmu Hukum. Maret 2014.hlm, 58.
[6] Ibid.
[7] Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 23
[8] Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis,Citra Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 18
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPerbedaan PPJB dan AJB
Resensi Buku: Teori dan Kebijakan Hukum Investasi Langsung...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
