Pengucapan Talak Berdasar Hukum Indonesia

Pengucapan Talak Berdasar Hukum Indonesia merupakan proses terakhir dari perceraian secara Islam yang dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan Agama, baik terhadap permohonan talak oleh suami maupun gugatan cerai oleh istri. Secara bahasa, talak sendiri memiliki pengertian melepas ikatan dan memisahkan. Dengan kata lain, talak adalah memutuskan hubungan antara suami istri dari ikatan pernikahan yang sah menurut syariat agama.[1]

 

Dalam hukum Islam, hak talak hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan bahwa pada umumnya suami lebih mengutamakan pemikiran untuk mempertimbangkan sesuatu daripada istri (perempuan) yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir perceraian.[2] Sementara itu, Pasal 117 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa:

“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”

Berdasar definisi tersebut, dapat diketahui bahwa talak adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.

 

KHI telah mengatur bahwa talak merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Selain itu, sahnya lafaz talak oleh suami kepada istrinya harus atas kehendak sendiri, bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami harus dalam keadaan sehat, apabila akalnya sedang terganggu, maka tidak boleh menjatuhkan talak. Oleh karena itu, apabila talak tersebut dijatuhkan dalam keadaan suami sedang marah, maka hukumnya talak tersebut adalah tidak sah.[3]

 

Ditinjau dari segi cara seseorang mengucapkan talak, ada 2 (dua) macam pengucapan talak. Pertama adalah talak sharih dan kedua adalah talak kinayah. Talak sharih ialah talak yang diucapkan suami secara tegas dan gamblang dengan kata-kata talak. Misalnya kata suami kepada istrinya; “aku talak engkau dengan talak satu”, dengan ucapan tersebut (tanpa niat) jatuhlah satu talak kepada istrinya.

 

Di sisi lain, talak kinayah ialah talak yang diucapkan suami tanpa mempergunakan kata-kata talak secara tegas tetapi dengan kata sindiran yang dapat diartikan talak. Suami yang mengucap lafaz talak kinayah dan tidak ada niat untuk menceraikan istrinya, dianggap tidak jatuh talak. Tetapi apabila suami mempunyai niat untuk menceraikan istrinya ketika mengucapkan kalimat tersebut, maka talak dianggap jatuh.[4]

 

Berkaitan dengan hal tersebut, agar penjatuhan talak dapat dikatakan sah dan memenuhi syarat-syaratnya, maka menurut pelaksanaannya pengucapan talak harus dilakukan di hadapan pengadilan agama dengan mengajukan permohonan talak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Setelah permohonan tersebut dikabulkan dan penetapannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

 

Meski demikian, apabila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 131 ayat (4) KHI. Selain dalam KHI, hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana terakhir diubah dalam Undang-undang (UU) Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) yang menyatakan bahwa:

“Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.”

UU Peradilan Agama memberikan kesempatan kepada suami untuk tetap dapat mengucapkan ikrar talak meskipun istri atau kuasanya tidak hadir saat proses pengucapan ikrar talak tersebut sebagaimana dimaksud Pasal 70 ayat (5) UU Peradilan Agama. Pengaturan tersebut guna menghindari adanya penundaan karena tidak hadirnya salah satu pihak, serta memberikan kepastian hukum.

 

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Pengucapan Talak Berdasar Hukum Indonesia harus atas kehendak sendiri, bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga dan dalam keadaan yang sehat. Agar penjatuhan talak tersebut sah, maka dalam KHI dan UU Peradilan Agama mengatur pelaksanaannya dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Terdapat jangka waktu untuk mengucapkan talak, yang apabila tidak dilaksanakan maka hak untuk mengucapkan talak tersebut akan gugur.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

 

[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, Pustaka Setia, Bandung: 2001, halaman 60.

[2] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif), UII Press, Yogyakarta, 2011, halaman 105-106

[3] M. Syaifuddin,  Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),17.

[4] Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, halaman 28-29.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.