Penguasaan Fisik Sebagai Syarat Pendaftaran Hak Atas Tanah

Pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pengaturan terkait kegiatan pendaftaran tanah diatur pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan terkait dengan pendaftaran tanah pada UUPA diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut ‘PP 10/1961’). PP 10/1961 tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendataran Tanah (selanjutnya disebut ‘PP 24/1997’) yang kemudian diubah dalam rangka diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yaitu dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut ‘PP 18/2021’).
Berdasarkan Pasal 1 Angka 9 PP 18/2021, pendaftaran tanah adalah:
“… rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang Tanah, Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang Tanah, Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Pengertian dari tanah dalam hal ini adalah berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 PP 18/2021 yaitu:
“Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi.”
 Setiap pihak yang hendak memanfaatkan tanah untuk keuntungannya haruslah didasarkan pada hak yang dimilikinya. Dalam UUPA telah diatur hak-hak apa saja yang dapat dimiliki atas sebidang tanah beserta persyaratannya. Pasal 19 Ayat (2) Huruf c UUPA menyatakan, kegiatan pendaftaran tanah adalah meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak atas tanah tersebut. Surat-surat tanda bukti yang dimaksud adalah sertifikat hak atas tanah yang kita kenal sebagai bukti paling kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Hal ini sebagaimana penjelasan Pasal 31 Ayat (2) PP 24/1997 yang menyatakan:
“Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Oleh karena itu sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan itu apabila masih ada ketidakpastian mengenai hak atas tanah yang bersangkutan, yang ternyata dari masih adanya catatan dalam pembukuannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), pada prinsipnya sertifikat belum dapat diterbitkan, namun apabila catatan itu mengenai ketidakpastian data fisik yang tidak disengketakan, sertifikat dapat diterbitkan.”
Terhadap bidang tanah yang belum memiliki sertifikat tersebut maka dilakukan pendaftaran tanah untuk bisa mendapatkan sertifikat hak atas tanahnya. Tentunya dalam melakukan pendaftaran tanah ini, pihak yang mengajukan diri sebagai pemilik hak atas tanah (hak lama) harus dapat membuktikan dasar kepemilikan haknya tersebut. Penjelasan Pasal 24 Ayat (1) PP 24/1997 menjabarkan apa saja bukti kepemilikan hak lama yang dapat diajukan, yaitu:
- grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnatie (Staatsblad 1834-27), yang telah dibubuhui catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau
- grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau
- surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau
- sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau
- surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau
- akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau
- akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau
- akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau
- risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau
- surat penunjukan atau pembelian kavelingg tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
- petuk Pajak Bumi/landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau
- surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
- lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 24 Ayat (1) PP 24/1997 juga dinyatakan bahwa apabila bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau sudah tidak ada lagi, maka pembuktian kepemilikan dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Ajudikasi dan pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.
Pembuktian Kepemilikan Hak Atas Tanah dengan Pernyataan Penguasaan Fisik
Berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) PP 24/1997, dalam hal tidak lagi tersedia alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud Pasal 24 Ayat (1) PP 24/1997 atau sebagaimana yang dijabarkan pada Penjelasan Pasal 24 Ayat (1) PP 24/1997 di atas, maka pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya. Hal inilah yang menjadi cikal bakal pembuktian kepemilikan hak atas tanah yang berasal dari hak lama dengan menggunakan ‘kenyataan penguasaan fisik’.
Pengaturan terkait penguasaan fisik ini kemudian diubah pada PP 18/2021 yaitu Bab VII tentang Pendaftaran Tanah Bagian Kelima tentang Hak Lama khususnya terkait tanah bekas hak barat. Pasal 95 PP 18/2021 menyatakan:
(1) Alat bukti tertulis Tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara.
(2) Pendaftaran Tanah bekas hak barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendasarkan pada surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui 2 (dua) orang saksi dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana, yang menguraikan:
a. Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya adalah Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara bukan Tanah bekas milik adat;
b. Tanah secara fisik dikuasai;
c. penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara. terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas Tanah; dan
d. penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain
 Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 95 PP 18/2021 menyatakan:
“Kenyataan penguasaan fisik dinyatakan dalam surat pernyataan yang terdapat keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang srrdah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak Tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.”
Sedangkan terkait tanah hak adat diatur pada Pasal 76A Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut ‘Permen ATR/BPN 16/2021’) yang menyatakan:
(1) Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perseorangan berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dinyatakan tidak berlaku setelah 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah berlaku.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka:
a. alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah; dan
b. status tanah tetap tanah bekas milik adat.
(3) Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mekanisme pengakuan hak.
(4) Permohonan pengakuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan surat pernyataan penguasaan fisik dari pemohon dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan bahwa:
a. tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya merupakan tanah bekas milik adat bukan Tanah Negara;
b. tanah tersebut telah dikuasai secara fisik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut;
c. penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah;
d. tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki dan/atau tidak dalam keadaan sengketa;
e. tidak terdapat keberatan dari pihak Kreditur dalam hal tanah dijadikan jaminan sesuatu utang; dan
f. bukan merupakan aset Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dan tidak berada dalam Kawasan Hutan.
(5) Unsur iktikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terdiri dari kenyataan secara fisik menguasai, menggunakan, memanfaatkan dan memelihara tanah secara terus-menerus dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Surat pernyataan penguasaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan ketentuan:
a. disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan merupakan benar sebagai pemilik dan yang menguasai bidang tanah tersebut; dan
b. dibuat berdasarkan keterangan yang sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana apabila di kemudian hari terdapat unsur ketidakbenaran dalam pernyataannya.
(7) Surat Pernyataan Penguasaan Fisik dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Dengan demikian bukti-bukti tertulis tanah bekas hak barat sebagaimana pada Penjelasan Pasal 24 Ayat (1) PP 24/1997 sudah tidak dapat digunakan untuk proses pendaftaran tanah melainkan pemohon harus membuat surat pernyataan penguasaan fisik sebagaimana ketentuan Pasal 95 Ayat (2) PP 18/2021. Di sisi lain, alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sebagaimana dimaksud Pasal 76A Ayat (1) Permen ATR/BPN 16/2021 tidak lagi dapat digunakan untuk proses pendaftaran tanah setelah 5 (lima) tahun sejak PP 18/2021 berlaku melainkan pemohon harus membuat surat pernyataan penguasaan fisik sebagaimana ketentuan Pasal 76A Ayat (4) Permen ATR/BPN 16/2021. Meski demikian, alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sebagaimana dimaksud Pasal 76A Ayat (1) Permen ATR/BPN 16/2021 yang telah dinyatakan tidak berlaku tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah.
Akibat Hukum Apabila Kenyataannya Tidak Ada Penguasaan Fisik di Lapangan
Dalam hal pernyataan penguasaan tanah yang digunakan pada proses pendaftaran tanah ternyata terbukti tidak benar, maka terdapat beberapa konsekuensi yang dapat terjadi kepada pihak yang mengaku sebagai pemilik hak atas tanah tersebut, yaitu:
1. Pemberian hak atas tanah dari proses pendaftaran tanah berdasarkan surat pernyataan penguasaan tanah yang tidak benar tersebut dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan Pasal 64 PP 18/2021 yang menyatakan:
(1) Pembatalan Hak Atas Tanah karena cacat administrasi hanya dapat dilakukan:
a. sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat Hak Atas Tanah, untuk:
1. Hak Atas Tanah yang diterbitkan pertama kali dan belum dialihkan; atau
2. Hak Atas Tanah yang telah dialihkan namun para pihak tidak beriktikad baik atas peralihan hak tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. karena adanya tumpang tindih Hak Atas Tanah.
(2) Dalam hal jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terlampaui maka pembatalan dilakukan melalui mekanisme peradilan.
2. Apabila terdapat pihak yang dirugikan, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menggugat pemohon beserta saksi dalam surat pernyataan penguasaan tanah secara perdata untuk meminta ganti kerugian.
3. Surat pernyataan penguasaan tanah adalah dokumen yang diperlukan dalam proses pendaftaran tanah yang mana nantinya menjadi dasar badan pertanahan menerbitkan buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang merupakan akta otentik, sehingga apabila terbukti terdapat keterangan tidak benar maka pemohon dapat dikenakan ketentuan pidana Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan:
(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Konsekuensi pidana tersebut juga dapat dikenakan terhadap saksi dalam surat pernyataan penguasaan tanah tersebut.
Penulis: Mirna R., S.H., M.H.
Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
