Pengertian Insolvensi

Pengertian Insolvensi merupakan hal yang perlu diketahui terutama oleh orang-orang yang yang bertindak sebagai kreditur atau bahkan oleh orang yang berutang. Insolvensi sendiri merupakan istilah yang seringkali ditemukan dalam permasalahan yang menyangkut kepailitan. Seperti halnya yang disampaikan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa keadaan Insolvensi merupakan syarat mutlak yang seharusnya ada pada syarat-syarat kepailitan. Munir Fuady memberikan pengertian insolvensi sebagai ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.[1] Dilihat dari 2 (dua) pendapat tersebut dapat diketahui bahwa insolvensi merupakan keadaan yang dialami Debitor sehingga tidak mampu untuk memenuhi kewajiban finansialnya (utang).

 

Istilah ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) yang berbunyi:

  • “Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”.

 

Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU KPKPU menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar. Menurut kajian teoritik perspektif kepailitan pada umumnya, terdapat dua jenis insolvensi, yaitu:

  1. Balance sheet insolvency merupakan suatu keadaan ketidakmampuan debitor untuk membayar utang-utangnya dimana nilai semua utang melebihi nilai semua asetnya. Atau lazim disebut nilai utang debitor melebihi nilai asetnya.
  2. Cash flow insolvency merupakan suatu keadaan finansial dimana debitor tidak mampu membayar utang-utangnya akibat adanya keadaan sesaat dari keuangan debitor karena debitor tidak dapat membayar utang-utangnya setelah jatuh waktu dan dapat ditagih, atau karena pada saat itu debitor tidak memiliki atau tidak cukup memiliki likuiditas untuk membayar utang atau utang-utangnya tersebut.[2]

 

Debitor telah berada dalam keadaan Insolven hanya apabila jumlah nilai kewajibanya (utangnya) telah lebih besar dari pada nilai asetnya (harta kekayaan). Keadaan Debitor yang demikian disebut balance sheet Insolvency. Balance sheet Insolvency dilawankan dengan cash-flow Insolvency, yaitu keadaan keuangan Debitor yang tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar utangnya pada saat telah jatuh tempo karena arus pemasukan (cash inflow) Debitor lebih kecil daripada arus pengeluarannya (cash out flow) sekalipun nilai asetnya masih lebih besar daripada nilai kewajibanya belum mengalami balance sheet Insolvency.[3]

 

Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU tidak mencantumkan insolvensi sebagai syarat agar Debitor dapat dipailitkan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, keadaan insolvensi merupakan syarat mutlak yang seharusnya ada pada syarat-syarat kepailitan yang ditentukan oleh UUK-PKPU, tetapi syarat Debitor dalam keadaan Insolven tidak dicantumkan sebagai syarat kepailitan, sehingga suatu perusahaan sangat mudah untuk dinyatakan pailit. Untuk menentukan bahwa Debitor sudah berada dalam keadaan insolvensi, harus dilakukan penjumlahan semua utang Debitor kepada semua jenis Kreditornya dan kemudian dibandingkan dengan jumlah kekayaannya (aset) untuk mengetahui apakah jumlah nilai utang tersebut masih lebih besar atau sudah lebih kecil daripada jumlah seluruh utangnya.[4]

 

Menurut standar internasional, dalam hal Debitor masih solven (mampu) tetapi tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo kepada Kreditor, maka Kreditor tidak boleh mengajukan gugatan kepailitan di Pengadilan Kepailitan (Pengadilan Niaga). Dengan kata lain, Kreditor hanya boleh mengajukan permohonan pailit terhadap Debitornya apabila Debitor telah dalam keadaan insolvensi. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa apabila permohonan pailit terbukti maka Pengadilan dapat memutuskan bahwa Debitor telah dalam keadaan insolvensi.[5]

 

Syarat dikategorikannya Debitor dalam keadaan insolvensi tidak berbeda jauh dengan syarat Debitor dinyatakan pailit dengan mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU yaitu sebagai berikut:

  1. Debitor, terhadap siapa permohonan pernyataan pailit itu diajukan, harus paling sedikit mempunyai dua Kreditor; Dengan kata lain, harus memiliki lebih dari satu Kreditor;
  2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu Kreditornya;
  3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih (due an payable).[6]

 

Dengan demikian, dari uraian tersebut dapat diketahui dalam insolvensi, Kreditor dapat mengajukan permohonan pailit untuk menyatakan Debitor dalam keadaan insolvensi dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU. Akan tetapi tidak menutup hak Debitor untuk mengajukan dirinya sendiri dalam keadaan insolvensi. Apabila diajukan oleh Debitor sendiri, maka Debitor tersebut wajib membuktikan adanya keadaan insolvensi.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

 

 

[1] Munir Fuady, Hukum Kepailitan dalam Teori & Praktek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2017, halaman 8.

[2] Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Prenamedia Group, Jakarta, 2016, halaman 156-157

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid., halaman 159

[6] Ibid., halaman 162

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.