Pengedar Narkoba Mengaku Dilindungi

Konferensi pers kasus narkoba yang digelar oleh BNNK Tana Toraja heboh lantaran salah seorang tersangka berinisial YR mengaku berani menjadi bandar narkoba karena mendapat perlindungan dari oknum kepolisian, “Kami berani begini, karena kami dilindungi dari bawah Polres”, ungkap tersangka.[1] Fakta ini merupakan perkembangan dari sidang lanjutan kasus peredaran narkoba jenis sabu yang diduga milik Irjen Teddy Minahasa yang merupakan mantan Kapolda Sumatera Barat. Sebelumnya salah satu terdakwa yaitu Kompol Kasranto yang menjadi saksi mahkota dalam sidang terdakwa Linda Pujiastuti mengungkapkan bahwa Linda sempat memberitahukan bahwa pemilik sabu tersebut dari seorang Jenderal yang bertugas di Padang, Sumatera Barat. Sehingga Kompol Kasranto pada saat itu memprediksi bahwa Jenderal yang dimaksud yaitu Irjen Teddy Minahasa yang pada saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat.[2]

Pertanggungjawaban pengedar narkoba yang dirumuskan sebagai tindak pidana narkotika secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika) menyatakan bahwa:

mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia

Adapun salah satu tujuan dari dibentuknya UU Narkotika yaitu sebagai bentuk upaya pemerintah dalam memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (Pasal 4 huruf c UU Narkotika).

Pengedar narkoba dirumuskan sebagai perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentrasito Narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 115, Pasal 120 dan Pasal 125 UU Narkotika di mana perbuatannya dapat diancam dengan hukuman sebagai berikut:

1. Pasal 115

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

2. Pasal 120

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

3. Pasal 125

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Selain itu perbuatan yang dilakukan demi melindungi pelaku kejahatan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan Obstruction of Justice yang diatur dalam Pasal 221 ayat 1 (KUHP) yang menyatakan:

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;”

Pengaturan obstruction of justice dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP tidak membedakan siapa pelakunya, baik masyarakat sipil atau aparat penegak hukum. Namun jika dalam kasus ini yang menjadi pelaku obstruction of justice adalah seorang aparat hukum kepolisian, maka ancaman hukumannya dapat ditambahkan dalam peraturan Perpolri No. 7 tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri Negara Republik Indonesia (KEPP). KEPP merupakan norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi pedoman sikap, perilaku dan perbuatan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.

Atas perbuatan yang dilakukan oleh Irjen Teddy Minahasa selain dugaan kepemilikan narkoba jenis sabu, beliau juga berperan sebagai obstruction of justice. Maka atas jabatan dan perbuatannya, Irjen Teddy Minahasa dapat diketegorikan melakukan Pelanggaran KEPP kategori berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) yang menyatakan:

Pelanggaran KEPP kategori berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b angka 3, dengan kriteria:

  1. dilakukan dengan sengaja dan terdapat kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
  2. adanya pemufakatan jahat;
  3. berdampak terhadap keluarga, masyarakat, institusi dan/atau negara yang menimbulkan akibat hukum;
  4. menjadi perhatian publik; dan/atau
  5. melakukan tindak pidana dan telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Bagi pejabat Polri yang melakukan Pelanggaran KEPP dengan kategori berat dapat dikenakan sanksi administratif berupa:[3]

  1. Mutasi Bersifat Demosi paling singkat 1 (satu) tahun;
  2. Penundaan kenaikan pangkat paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun);
  3. Penundaan pendidikan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun);
  4. Penempatan pada Tempat Khusus paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja; dan
  5. PTDH (Pemberhentian Tidak dengan Hormat).

Sanksi etik tersebut diberikan melalui sidang kode etik kepolisian.

 

Penulis: Adelya H.M., S.H.

Editor: Mirna R., S.H., M.H., & R. Putri J., S.H., M.H.

 

[1] Rachmat Ariadi, Heboh Pengedar Narkoba di Tana Toraja Ngaku Dilindungi Polres Saat Konpers, https://news.detik.com/berita/d-6578191/heboh-pengedar-narkoba-di-tana-toraja-ngaku-dilindungi-polres-saat-konpers

[2] M Chaerul Halim, Sabu “Jenderalku” yang Bikin Kompol Kasranto Merasa Aman Edarkan Narkoba, https://megapolitan.kompas.com/read/2023/02/23/09282561/sabu-jenderalku-yang-bikin-kompol-kasranto-merasa-aman-edarkan-narkoba?page=all#page2.

[3] Pasal 109 UU Perpolri No. 7 tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri Negara Republik Indonesia

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.