Pengacara dalam Sudut Pandang Islam (Al Waqalah)

Pengacara dalam Sudut Pandang Islam

Pengacara atau Advokat adalah salah satu profesi hukum yang memiliki peranan penting dalam penegakan hukum. Bagi siapa pun yang hendak menjadi pengacara, maka haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (selanjutnya disebut “UU Advokat”).

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1, advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 Angka 2, jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Profesi pengacara dalam masyarakat sering diasosiasikan dengan hal-hal negatif seperti membela orang yang bersalah atau melakukan suap. Pandangan-pandangan awam tersebut menimbulkan persepsi bahwa profesi pengacara tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, padahal kehadiran pengacara dalam sudut pandang Islam dan sejarah Islam sangatlah dibutuhkan.

Pengacara dalam hal ini adalah orang yang mendampingi orang lain yang memerlukan bantuan hukum. Pengacara ini sebaik-baiknya adalah yang betul-betul memahami ilmu hukum itu. Terdapat riwayat hadist Rasulullah SAW yang menyatakan:

(إذا وسد األمر إىل غري أهله فانتظر الساعة (رواه البخاري

Artinya:

“Apabila kepengurusan itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (H.r. al Bukhârî).”

Terdapat beberapa riwayat dalam Islam mengenai pendampingan terhadap orang yang hendak diadili. Pada QS. Al Qashash Ayat 33-34 menceritakan kisah Nabi Musa meminta bantuan kepada Nabi Harun untuk mendampingi, membela dan melindungi beliau dari kejahatan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya.

Artinya:

Dia (Musa) berkata: “Ya Tuhanku, sungguh aku telah membunuh seseorang dari golongan mereka sehingga aku takut mereka akan membunuhku. Dan saudaraku, Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku, sungguh aku takut mereka akan mendustakanku”. (Q.s. al-Qashash [28]: 33-34).

Dikisahkan, Nabi Musa (sebelum diangkat menjadi Nabi) tidak sengaja membunuh seorang dari golongan kaum Fir’aun yang sedang berkelahi dengan seorang dari golongannya (Bani Israil), dan ketika orang dari golongan Bani Israil tersebut meminta pertolongan Nabi Musa, Nabi Musa meninju orang dari golongan kaum Fir’aun hingga meninggal, sebagaimana dalam QS. Al Qashash Ayat 15:

Artinya:

“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun).

Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).”

Kisah Nabi Musa menunjukkan bahwa konsep pembelaan atau kuasa hukum telah dikenal dalam Islam pada zaman Nabi Musa. Konsep ini menjadi semakin berkembang pada zaman Nabi Muhammad SAW dan semakin matang pada masa kepemimpinan khalifah-khalifah sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Profesi Pengacara di Zaman Nabi Muhammad SAW

Meski pun secara kelembagaan, pengacara belum dikenal di kalangan orang-orang Arab pra Islam, tetapi ada praktek yang berlaku saat itu ketika terjadi sengketa di antara mereka, mereka dapat mewakilkan atau menguasakannya kepada seorang pembicara atau juru debat yang disebut hajîj atau hijâj untuk membela kepentingan yang memberikan kuasa atau perwakilan (al-muwakkil).[1]

Hal tersebut berlanjut sampai datangnya Islam. Perkembangan profesi pengacara dalam Islam bisa ditelusuri melalui praktek al waqalah yang sudah berkembang seiring dengan datangnya Islam.[2]

Nabi Muhammad SAW pernah mewakilkan kepada sahabat untuk menyerahkan seekor unta yang menjadi kewajiban beliau kepada seseorang dimana orang tersebut datang menemui beliau memperkarakan untanya. Nabi Muhammad SAW kemudian memerintahkan para sahabat mencarikan unta yang seusia dengan unta yang dituntut orang tersebut untuk diberikan kepadanya.[3]

Para sahabat Nabi Muhammad SAW tidak berhasil mendapatkan unta pengganti kecuali unta yang lebih tua. Kemudian Nabi Muhammad SAW memerintahkan menyerahkan unta yang lebih tua tersebut kepada orang yang memperkarakan untanya dan orang itu berkata:

“Engkau telah menunaikan kewajibanmu kepadaku maka Allah SWT akan menunaikan pula kewajiban untukmu”. Demikian diantara praktek al-waqalah di zaman Nabi Muhammad SAW yang berdiri di atas prinsip tolong menolong.[4]

Pada era Khulafaur Rasyidin, peranan al waqalah semakin dibutuhkan. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib pernah meminta ‘Uqayl mewakilinya sebagai pengacara dalam suatu perkara. Begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, ‘Umar ibn al-Khathab dan Utsman ibn ‘Affan. Hal ini menunjukkan bahwa perwakilan melalui seorang pengacara dalam masalah-masalah yang disengketakan sudah diakui dan dipraktekkan di zaman Khulafaur Rasyidin. [5]

Profesi pengacara mulai benar-benar melembaga pada masa Dinasti Umayyah. Hal ini terlihat pada praktek beracara di hadapan pengadilan wilayah al-mazhalim saat itu yang selalu melibatkan atau menghadirkan para pembela dan pengacara (al humah dan al-a’wan). Kehadiran para pengacara ini diharapkan dapat meredam kekerasan dan keangkuhan hati para pejabat pemerintah yang diajukan ke persidangan atas pelangggaran yang dibuatnya terhadap anggota masyarakat.[6]

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

Sumber:

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas; dan
  2. Arifin Rada, Esensi Keberadaan Advokat Menurut Hukum Islam, Jurnal Ahkam, Vol. XIV No. 1, Januari 2014, hlm. 118.

 

[1] Arifin Rada, Esensi Keberadaan Advokat Menurut Hukum Islam, Jurnal Ahkam, Vol. XIV No. 1, Januari 2014, hlm. 118.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

 

 

Baca juga:

Pentingnya Advokat/Pengacara dalam Sebuah Peradilan

Wawancara dengan Pengacaranya Para Crazy Rich Surabaya Dr. Sudiman Sidabukke, S.H., CN., M.Hum

Tata Cara dan Persyaratan Menjadi Pengacara Pajak

 

Pengacara dalam sudut pandang Islam | Pengacara dalam sudut pandang Islam | Pengacara dalam sudut pandang Islam | Pengacara dalam sudut pandang Islam | Pengacara dalam sudut pandang Islam | Pengacara dalam sudut pandang Islam| Pengacara dalam sudut pandang Islam| Pengacara dalam sudut pandang Islam| Pengacara dalam sudut pandang Islam| Pengacara dalam sudut pandang Islam

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.