Penentuan Kompetensi Absolut Dalam Perkara Perceraian

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut ‘UU Perkawinan’), “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

 

Dalam perkawinan, bisa saja terjadi permasalahan, konflik atau perselisihan antara suami dan istri yang bermuara pada keinginan untuk memutus perkawinan tersebut atau bercerai. Pasal 39 Ayat (1) UU Perkawinan mengatur “perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Lebih lanjut, Pasal 40 Ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.” Dalam mengajukan gugatan tersebut ke pengadilan, kita harus memahami pada pengadilan mana gugatan tersebut diajukan, untuk itu kita perlu memahami terkait dengan kompetensi absolut dan kompetensi relatif pengadilan.

 

1. Pengertian Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif

Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama).[1] Di sisi lain, kompetensi relatif adalah pembagian kekuasaan kehakiman atau apa yang dinamakan wewenang nisbi hakim yang berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan,[2] misalkan kompetensi absolutnya pada pengadilan negeri, maka contoh kompetensi relatifnya adalah pengadilan negeri Malang, pengadilan negeri Surabaya dan seterusnya.

 

2. Kompetensi Absolut Perkara Perceraian Secara Umum

Berbicara mengenai kompetensi absolut dalam perkara perceraian, umumnya yang menjadi dasar yang menentukan kompetensi absolutnya adalah agama yang dianut oleh suami dan istri yang hendak bercerai, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Lebih lanjut Pasal 63 UU Perkawinan menyatakan:

  • Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-Undang ini ialah:
    1. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
    2. Pengadilan Umum bagi lainnya.
  • Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum

 

Berdasarkan hal tersebut, apabila perceraian dilakukan oleh pasangan suami istri yang keduanya tidak beragama Islam, maka gugatan diajukan kepada pengadilan umum atau pengadilan negeri, sedangkan pasangan suami istri yang keduanya beragama Islam, maka sudah pasti gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut ‘UU Peradilan Agama’) yang menyatakan:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  1. perkawinan;
  2. waris;
  3. wasiat;
  4. hibah;
  5. wakaf;
  6. zakat;
  7. infaq;
  8. shadaqah; dan
  9. ekonomi syari’ah.

 

Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 49 Huruf a UU Peradilan Agama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, diantaranya perceraian karena talak dan gugatan perceraian.

 

3. Kompetensi Absolut Gugatan Perceraian Perkawinan Pasangan Beda Agama Salah Satu Beragama Islam

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan sebagaimana telah dikutip sebelumnya, hukum Indonesia tidak melarang perkawinan beda agama, namun mengatur perkawinan haruslah sesuai hukum agamanya masing-masing. Sebagaimana diketahui dalam hukum Islam melarang perkawinan orang beragama Islam dengan orang beragama non-Islam sehingga dalam melangsungkan perkawinan antara pasangan beda agama di mana salah satunya beragama Islam, maka agar perkawinan itu sah, haruslah ada salah satu pihak yang merelakan agamanya dan memilih perkawinan tersebut dilakukan didasarkan pada agama apa.

 

Sebagai referensi, Pasal 35 Huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut ‘UU Adminduk’) menentukan:

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:

  1. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
  2. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

 

Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 35 Huruf a UU Adminduk menyatakan “yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.”

Ketentuan tersebut berkaitan dengan Pasal 34 Ayat (1) UU Adminduk yang menyatakan:

  • Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

 

Laporan tersebut adalah untuk pencatatan pada register akta perkawinan (Pasal 34 Ayat (2) UU Adminduk) sehingga apabila perkawinan tidak dilaporkan, maka artinya perkawinan tersebut tidak sah. Perkawinan yang tidak sah, maka perceraiannya pun tidak dapat dilakukan berdasarkan hukum Indonesia di pengadilan Indonesia.

 

Dalam hal perkawinan telah dicatatkan, maka dalam Kutipan Akta Perkawinan (atau dikenal sebagai Buku Nikah bagi yang melaksanakan perkawinan secara agama Islam) akan dimuat keterangan perkawinan dilakukan berdasarkan agama apa, sehingga hal ini yang menjadi dasar pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus perceraiannya. Apabila perkawinan dicatatkan secara agama Islam, maka gugatan perceraian diajukan pada Pengadilan Agama, sedangkan apabila perkawinan dicatatkan secara agama non-Islam, maka gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan Negeri.

 

4. Kompetensi Absolut Gugatan Perceraian Perkawinan Pasangan Beda Kewarganegaraan atau Melangsungkan Perkawinan di Luar Negeri

Terkait dengan perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing atau antara Warga Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri, maka pencatatan perkawinan tersebut wajib dilaksanakan sesuai prosedur dalam Pasal 37 UU Adminduk yang menyatakan:

  • Perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia.
  • Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
  • Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perkawinan dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
  • Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.

 

Lebih lanjut, terkait dengan pencatatan perceraiannya diatur pada Pasal 41 UU Adminduk yang menyatakan:

  • Perceraian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia.
  • Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan perceraian bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
  • Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perceraian dalam Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian.
  • Pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.

 

Dengan demikian apabila perkawinan tersebut dicatatkan di luar negeri, maka tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang melarang untuk melakukan perceraian di pengadilan luar negeri maupun di pengadilan di Indonesia. Tentunya apabila perkawinan itu dilakukan di dalam negeri, maka tetap mengikuti ketentuan Pasal 63 UU Perkawinan jo. Pasal 49 UU Peradilan Agama. Di sisi lain apabila perceraian dilakukan di luar negeri, maka mengikuti ketentuan yang berlaku pada masing-masing negara tempat dilakukannya perceraian.

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., CCD.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

 

Sumber:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; dan
  4. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2002.

 

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm. 78.

[2] Ibid, hlm. 80.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.