Pemutusan Perjanjian Secara Sepihak

Pada dasarnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak dikenal istilah perjanjian, melainkan disebut sebagai persetujuan. Pasal 1233 KUHPer menyatakan bahwa perikatan lahir karena 2 (dua) hal yaitu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang mengikatkan diri dalam suatu kontrak disebut persetujuan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPer. Persetujuan karena kontrak dapat disebut pula dengan perjanjian. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer diantaranya:

  1. Kesepakatan para pihak;
  2. Kecakapan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Sebab yang halal;

Syarat sah dalam kesepakatan para pihak dan kecakapan disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan syarat sah suatu hal disebut sebagai syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat subjektif perjanjian mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif mengakibatkan batal demi hukum.

Berkaitan dengan pembahasan artikel kali ini, maka perlu diketahui bahwa hapusnya perikatan dapat terjadi karena hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1381 KUHPer yang menyatakan sebagai berikut:

    1. Karena pembayaran;
    2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
    3. Karena pembaruan utang;
    4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
    5. Karena percampuran utang;
    6. Karena pembebasan utang;
    7. Karena musnahnya barang yang terutang;
    8. Karena kebatalan atau pembatalan;
    9. Karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini;dan
    10. Karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.

Walaupun terdapat ketentuan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dibatalkan dan tidak terpenuhinya syarat objektif menjadikan perjanjian batal demi hukum, namun dalam Pasal 1338 KUHPer disebutkan sebagai berikut :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Selain itu, ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPer juga menyatakan sebagai berikut:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”

Berdasarkan hal tersebut, maka setiap pemutusan perjanjian harus dilakukan dengan kesepakatan para pihak dan dimintakan kepada Pengadilan Negeri, sehingga seharusnya pemutusan perjanjian secara sepihak tidak boleh dilakukan. Namun, dalam prakteknya banyak terjadi hal demikian, dimana dalam perjanjian memuat klausa mengenai pemutusan perjanjian sepihak apabila melakukan, melanggar dan/atau tidak melakukan sesuatu, serta mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPer.

Pemutusan perjanjian secara sepihak dapat menyebabkan seseorang tersebut digugat atas perbuatan melawan hukum sebagaimana yuriprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1051 K/Pdt/2014 yang menyatakan bahwa:

Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaituperjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Hal tersebut juga kemudian diperkuat dengan adanya Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 580 PK/Pdt/2015. Yang menyatakan sebagai berikut:

Bahwa penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus membayar kerugian yang dialami Penggugat;”

Kemudian dipertegas kembali melalui putusan nomor 28 K/Pdt/2016 yang menyatakan bahwa:

Bahwa sesuai fakta persidangan terbukti Penggugat adalah pelaksana proyek sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat I, proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat, sehinggabenar para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum

Putusan-putusan tersebut masuk dalam yurisprudensi nomor katalog 4/Yur/Pdt/2018. Berdasarkan hal tersebut, maka pemutusan perjanjian harus dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Jika pemutusan hanya dilakukan oleh salah satu pihak, akibatnya yaitu pihak tersebut dapat digugat oleh pihak lain dengan gugatan perbuatan melawan hukum, sehingga harus menyelesaikan persoalan di Pengadilan Negeri dan dapat diputus untuk melakukan ganti rugi teradap pihak yang dirugikan atas pemutusan perjanjian sepihak tersebut.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.