Pemecatan Hakim Konstitusi Aswanto

Lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberhentikan salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Aswanto. Pemberhentian tersebut disebabkan Aswanto seringkali menganulir produk undang-undang yang disahkan oleh DPR. Padahal penunjukan Aswanto sebagai Hakim MK diusulkan langsung oleh DPR sehingga DPR menilai Aswanto tidak melaksanakan komitmen sebagai Hakim Konstitusi usulan DPR.[1] Keputusan pemberhentian ini, menuai banyak kritikan dari berbagai pihak, karena dinilai hal ini melanggar hukum dan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Fungsi MK dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui kewenangannya yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of human right), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional right), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).[2]
Dilihat dari fungsinya yang memiliki kaitannya dengan konstitusi di Indonesia, sudah seharusnya MK diisi oleh hakim-hakim yang memiliki kapasitas dan sesuai dengan persyaratan pengangkatan yang berlaku. Hal tersebut diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK beserta perubahannya). Dalam Pasal 15 UU MK disebutkan mengenai syarat pengangkatan hakim MK, yang berbunyi:
(1) Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
- adil; dan
- negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
- warga negara Indonesia;
- berljazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum;
- bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
- berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;
- mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
- tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
- mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 calon hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan:
- surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
- daftar riwayat hidup;
- menyerahkan fotokopi ljazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan ijazah asli;
- laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
- nomor pokok wajib pajak (NPWP)
Ketentuan Pasal 15 UU MK, menunjukkan bahwa syarat harus dimiliki seorang hakim MK dilihat dari ijazah doktoral (strata 3) dan pengalamannya bekerja di bidang hukum selama 15 (lima belas) tahun. Selain ketentuan tersebut, 3 (tiga) lembaga negara yakni Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden mendapatkan kewenangan mengajukan 3 (tiga) orang untuk menjadi hakim MK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) UU MK. Dengan adanya keterlibatan ketiga, lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif tersebut dalam rekruitmen hakim konstitusi dapat dijamin adanya keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara tersebut dan sekaligus pula menjamin netralitas dan imparsialitas MK dalam hubungan antar lembaga negara.
Berkaitan dengan pemberhentian Aswanto sebagai hakim MK, dalam Pasal 23 Ayat (1) dan (2) UU MK disebutkan bahwa pemberhentian hakim MK terdapat 2 (dua) bentuk yakni dengan hormat dan tidak dengan hormat beserta dengan alasannya, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
- meninggal dunia;
- mengundurkan diri atas yang diajukan kepada Konstitusi;
- telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;
- dihapus; atau
- sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara;
- melakukan perbuatan tercela;
- tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
- melanggar sumpah atau janji jabatan;
- dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
- tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau
- melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Mengenai alasan pemberhentian Aswanto sebagai hakim MK yang dinilai seringkali menganulir produk undang-undang yang dibuat oleh DPR, tidaklah bersesuaian dengan ketentuan Pasal 23 Ayat (1) dan (2) UU MK itu sendiri. Hal ini dapat menunjukkan adanya intervensi dari lembaga legislatif terhadap jalannya kinerja lembaga yudikatif MK. Padahal sesuai dengan salah satu wewenangnya dalam Pasal 10 UU MK yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara berkaitan tata cara dengan pemberhentian hakim MK diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Konstitusi (PMK 4/2012).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim MK terdapat prosedur yang mengatur secara khusus dan lebih rinci yang dimut dalam UU MK dan PMK 4/2012. Pemberhentian Aswanto sebagai hakim MK, tidak memiliki alasan yang cukup kuat, sebab alasan ‘seringkali menganulir produk undang-undang DPR’ bukanlah alasan yang tepat dan diatur dalam UU MK maupun PMK 4/2012. Alasan DPR tersebut, seharusnya dipandang sebagai salah satu wewenang MK bukan malah sebaliknya.
[1] CNN Indonesia, Alasan DPR Copot Aswanto dari Jabatan Hakim Konstitusi, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221002092202-32-855230/alasan-dpr-copot-aswanto-dari-jabatan-hakim-konstitusi.
[2] Ayu Desiana, Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Majalah Hukum Forum Akademika Volume 25 Nomor 1, 2014, Hal. 50.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPengertian dan Tata Cara Pemberian Grasi
Penetapan Tersangka Atas Tragedi Kanjuruhan

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.