Pembatalan Putusan Arbitrase

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) menyebutkan bahwa pengertian Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[1] Arbitrase berasal dari kata “arbitrate” (bahasa latin) yang artinya “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seakan-akan memberi petunjuk bahwa Majelis Arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan.[2]
Definisi secara terminologi dikemukakan dengan berbagai pendapat oleh para ahli saat ini walaupun pada intinya mempunyai makna yang sama, yaitu Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.[3] Hal ini menyatakan bahwa suatu putusan arbitrase apabila tidak berdasarkan persetujuan dari para pihak yang bersengketa hakim tidak bisa untuk memutus sengketa yang sedang terjadi.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan, yang membedakan pengadilan dan arbitrase bila jalur pengadilan menggunakan satu peradilan permanen, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yaitu forum yang dibentuk khusus untuk kegiatan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Dalam arbitrase, arbiter bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase, yang mana status hakim tersebut bersifat tidak permanen dan pembentukannya semula dimaksudkan hanya untuk sementara waktu dan untuk menangani peristiwa tersebut.
Apabila penyelesaian dengan cara litigasi, maka secara jelas proses penyelesaian sengketanya dilakukan di pengadilan. Namun apabila dilakukan dengan melalui Arbitrase, berarti penyelesaian sengketa dimana pihak netral dipilih secara pribadi dan dibiayai oleh para pihak yang bersengketa melalui prosedur arbitrase yang merupakan peraturan yang diterapkan oleh lembaga arbitrase. Dalam hal para pihak mengambil jalan damai dengan membuat akad damai, maka lembaga Arbitrase adalah merupakan lembaga institusi yang tepat untuk menyelenggarakan proses yang dimaksud.
Sifat putusan Arbitrase adalah final and binding (akhir dan mengikat), final artinya bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan upaya hukum terkait seperti banding maupun kasasi. Setidaknya berdasarkan Pasal 60 UU Arbitrase, maka putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Namun hal ini tidak berarti bahwa terhadap putusan tersebut sudah tidak dapat dilakukan upaya hukum sama sekali misalnya dengan menggunakan Pasal 70 UU Arbitrase yang menyatakan bahwa, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
- Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksan sengketa
Sementara berkaitan dengan binding atau mengikat artinya bahwa setiap putusan Arbitrase harus bisa diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak. Pasal 60 UU Arbitrase menyebutkan bahwa Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Bahkan dalam Pasal 61 UU Arbitrase, menyatakan bahwa:
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Apabila telah terdapat putusan Arbitrase, Pengadilan Negeri berperan sebagai tempat pendaftaran putusan Arbitrase dalam rangka pelaksanaan putusan Arbitrase nasional.[4] Pendaftaran putusan Arbitrase ini disebut juga deponir yang berarti deposit, yang dalam istilah hukum Indonesia lazim disebut “menyimpan” atau pendaftaran. Dalam hal ini, Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar pihak yang bersangkutan melaksanakan putusan Arbitrase.[5] Pendaftaran putusan Arbitrase ini pada dasarnya untuk kepentingan eksekusi putusan, agar terhadap putusan dapat dimintakan eksekusi apabila para pihak tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.
Pendaftaran putusan Arbitrase merupakan kewajiban dan tanggung jawab para anggota Arbiter. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, dapat mereka tugaskan kepada salah seorang anggota Arbiter atau boleh juga diserahkan kepada seorang kuasa khusus mewakili pendaftar. Perintah tersebut berdasarkan permohonan eksekusi yang didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dan diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan didaftarkan. Dilain sisi, ada kalanya pihak yang harus melaksanakan putusan Arbitrase tidak bersedia melaksanakannya secara sukarela. UU Arbitrase, memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri untuk membatalkan putusan Arbitrase.
Pasal 1 Angka 4 UU Arbitrase, memberikan definisi mengenai Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon, dan Pasal 1 Angka 6 UU Arbitrase mendefinisikan Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitrase. Sehingga pengajuan permohonan pembatalan putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri wilayah hukum Termohon.
Dalam hal terjadi pembatalan putusan Arbitrase, dalam Pasal 70 UU Arbitrase mengatur mengenai kemungkinan terjadinya pembatalan terhadap putusan Arbitrase oleh Pengadilan. Permohonan pembatalan putusan Arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan Arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.[6] Permohonan pembatalan putusan Arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan Arbitrase. Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tersebut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Banding disini hanya dapat dilakukan terhadap putusan permohonan pembatalan putusan Arbitrase. UU Arbitrase, menyatakan secara tegas bahwa banding atas putusan permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung yang akan memutus pada tingkat pertama dan terakhir. Hal ini berarti terhadap putusan Mahkamah Agung mengenai banding atas permohonan pembatalan putusan Arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.
Dengan demikian, permohonan pembatalan putusan Arbitrase diatur dalam ketentuan UU Arbitrase. Sehingga, dasar pengajuan atau alasan yang dimohonkan untuk dibatalkannya putusan Arbitrase harus mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam UU Arbitrase sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Selain itu, tata cara pengajuan permohonan tersebut mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam UU Arbitrase.
[1] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[2] R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1992.
[3] Ibid.
[4] Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[5] Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
[6] Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPemberlakuan PPh dan PPN terhadap e-wallet, pinjol dan Crowdfunding...
Korban Pembegalan Menjadi Tersangka

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.