Pelepasan Tanggung Jawab Direktur (Acquit at de charge)
Tanggung jawab hukum Direksi merupakan cerminan atau gambaran dari pelaksanaan tugas dan kewenangan Direksi dalam menjalankan fungsi kepengurusan dan perwakilan yang dipercayakan atau diamanahkan Perseroan kepada Direksi. Dalam menjalankan Perseroan, Direksi harus berpegang pada prinsip-prinsip itikad baik, penuh tanggung jawab, kehati-hatian, untuk kepentingan serta sesuai dengan maksud dan tujuan Perseoran. Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menyebutkan bahwa:
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi dipilih dan diberhentikan oleh RUPS dan karenanya segala tugas pengurusan perseroan harus dipertanggung jawabkan kepada RUPS.
Pasal 92 ayat (1) UUPT menentukan bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Lalu Pasal 92 ayat (2) UUPT yang sama menjelaskan bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan tersebut sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Kebijakan yang dipandang tepat ialah kebijakan yang dipandang yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis.[1]
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan, dan pengurusan tersebut wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila bersalah atau lalai menjalankan kewenangannya.Dengan demikian, Direksi adalah pihak pertama yang harus dapat menjelaskan apabila Perseroan mengalami kerugian, sehingga jika ada kerugian karena Direksi tidak menjalankan tugas dengan penuh itikad baik, kerugian yang diderita oleh PT dapat menjadi tanggung jawab pribadi Direksi. Hal tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 97 UU PT, yang menyebutkan bahwa:
- Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
- Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
- Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
- Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
- Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
- kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
- telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
- tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
- telah mengambil tindakan untuk mencegahtimbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
- Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.
Berdasarkan Pasal 94 Ayat (3) UU PT, anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Maksudnya adalah anggota Direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS. Misalnya untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun atau 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatan, maka sejak berakhirnya jangka waktu tersebut mantan anggota Direksi yang bersangkutan tidak berhak lagi bertindak untuk dan atas nama Perseroan, kecuali setelah diangkat kembali oleh RUPS.[2] Pengangkatan, penggantian dan pemberhentian Direksi didasarkan pada keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 Ayat (5) UU PT.
Tidak jarang Direksi dalam menjalankan tugasnya berbuat lalai atau melakukan kesalahan, yang mana dikemudian hari perbuatan tersebut meimbulkan kerugian bagi Perseroan. Pertanggung jawaban Direksi pada saat masa jabatan telah berakhir, dilakukan dengan menyampaikan laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 69 UU PT. Dalam laporan tahunan telah termuat mengenai kerugian dan keuntungan akibat perbuatan Direksi selama satu tahun buku. Laporan tahunan harus disampaikan pada setiap pemegang saham Perseroan untuk selanjutnya di sahkan dalam RUPS.[3]
Pengesahan laporan tahunan mencerminan bahwa Direksi telah mampu melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban dengan baik. Bersamaan dengan disahkannya laporan tersebut maka Direksi memperoleh pelepasan dan pelunasan tanggungjawab (acquit et de charge). Pelepasan dan pelunasan tanggung jawab (acquit et de charge) sebagaimana termuat dalam Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa acquit yang diterjemahkan sebagai “to clear (a person) of criminal charge”[4] dapat diartikan bahwa seseorang akan terbebas dari tuntutan secara kriminal. Sedangkan dalam Dictionary of law menyatakan bahwa “in discharge of his duties as director meaning carrying out his duties as director”[5], yang dapat diartikan bahwa pelepasan tanggung jawab dapat diberikan setelah Direksi melaksanakan tugasnya.
Direksi dapat dimintai pertanggung jawaban dan lepas dari perlindungan hukum, apabila terbukti ada perbuatan pidana dan ditemukan adanya niat jahat. Niat jahat dapat diartikan sebagai istilah sikap kalbu, yang ada di dalam kalbu seseorang merupakan hasil dari proses cipta, rasa dan karsa (kehendak atau keinginan) orang tersebut.[6] Direksi sebagai organ vital dalam pengurusan dan pengelolaan Perseroan, merupakan bagian integral dari kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) yang dilakukan oleh Perseroan tersebut. Pertanggung jawaban dalam konteks tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh Perseroan dapat disebabkan oleh orang yang memberikan perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pemimpin perbuatan atau kelalaian itu.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dimintakan kepada seseorang apabila orang yang melakukan tindak pidana memang mampu bertanggung jawab. Sebagaimana pendapat Simon, yang memberi batasan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.[7] Karenanya suatu tindak pidana terdiri dari a criminal act (acteus reus) dan a criminal intent (mens rea), keduanya mutlak harus ada untuk sebuah pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban secara pidana bagi anggota Direksi telah diatur dalam Pasal 59, 398 dan 399 KUHP. Dan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana ini pembebasan dan pelunasan (acquit et de charge) oleh RUPS atas tanggung jawab pengurusan dan pengawasan yang dilakukan oleh Direksi ketika laporan tahunan disetujui oleh RUPS, tidak berarti telah terjadi pelepasan tanggung jawab secara pidana.[8] Pemberian acquit et de charge oleh RUPS hanya memberikan pembebasan tanggung jawab kepada Direksi terhadap hal-hal yang tercermin dalam laporan keuangan, Apabila terdapat suatu hal yang tidak tercermin dalam laporan tahunan maka menjadi tanggung jawab pribadi Direksi. Tanggung jawab terhadap hal itu tidak diambil alih Perseroan karena pembebasan tanggung jawab yang diberikan RUPS tidak mencakup hal-hal yang tidak tercermin dalam laporan tahunan.[9]
Dengan demikian, Direksi tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana terhadap perbuatan yang dilakukan dalam kedudukannya mewakili Perseroan selama dirinya menjabat, meski pertanggung jawaban telah diterima RUPS. Pasal 155 UU PT, menerangkan bahwa:
Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang hukum pidana.
Ketentuan ini menerangkan bahwa Direksi tetap dapat dijerat secara pidana jika melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang diancam pidana yang berlaku di luar UU PT. Amanah secara yuridis yang diberikan oleh hukum kepada organ Direksi bersifat “wajib” dan tidak dapat diganggu atau diarahkan kepada keputusan yang salah. Oleh karenanya Direksi memiliki kekebalan untuk tidak diintervensi dalam mengambil keputusan bisnis, sepanjang keputusan tersebut sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan telah sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian Perseroan.
[1] Penjelasan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
[2] Penjelasan Pasal 94 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
[3] Kuswiratmo, Bonifasius Aji, Keuntungan Dan Resiko Menjadi Direktur, Komisaris dan Pemegang Saham , Visimedia, Jakarta, 2016.
[4] Garner,Bryan A. Black’s law Dictionary, West Group, United State Of America, 1999.
[5] Collin, P.H. Dictionary of Law 2nd Edition, Fitzroy Dearborn Publishers, United State Of America, 1999.
[6] Agus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia, Karya Putra Darwati, Bandung, 2012.
[7] D.Schaffmeister, et.al, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta,1995
[8]Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013
[9] Ibid.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKeabsahan Tindakan Direktur yang Telah Habis Masa Jabatannya
Kesalahan Prosedur PHK Karyawan SiCepat
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.