MK Tolak Pengujian Perkawinan Beda Agama
Permohonan pengujian UU Perkawinan tentang perkawinan beda agama telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan register nomor 24/PUU-XX/2022 tanggal 31 Januari 2023. Putusan tersebut menjadi perbincangan ramai, bahkan di sosial media.
- Permohonan Pengujian Undang-Undang Register Nomor 24/PUU-XX/2022
Permohonan Pengujian Undang-Undang Register Nomor 24/PUU-XX/2022 diajukan oleh …. Adapun pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya adalah Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (“UU Perkawinan”) yang isinya adalah sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 8 huruf f:
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Sebelumnya Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan memang telah pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji, namun Pasal 8 huruf f belum pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan pengujian tersebut dinyatakan memenuhi syarat, karena berbeda dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya dalam Register Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Register Nomor 68/PUU-XII/2014.
Selanjutnya, alasan permohonan diajukan oleh Para Pemohon dengan dasar bahwa ketentuan-ketentuan tersebut menjadikan interpretasi tentang perkawinan beda agama tidak jelas, sebab dengan adanya kata “menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya” tersebut menjadikan ada pihak yang melarang perkawinan beda agama dan ada pula pihak yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Di sisi lain, Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur:
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28D Ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Selain itu, Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang menurut Para Pemohon melarang pernikahan beda agama, juga melanggar Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Pasal 16 auat (1) yang menyatakan:
“Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family”
Ketentuan-ketentuan tersebutlah yang menjadi dasar permohonan Para Pemohon. Adapun Para Pemohon mengajukan petitum alternatif. Dalam petitumnya, Para Pemohon meminta agar Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 8 huruf f inkonstitusional, atau menyatakan inkonstitusional bersyarat.
Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutus untuk menolak permohonan Para Pemohon seluruhnya. Penolakan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut diberikan dengan dasar bahwa terdapat perbedaan jaminan antara UDHR dengan UUD 1945, dimana UDHR menjamin pernikahan diantara laki-laki dan perempuan yang telah cukup umur tanpa memandang perbedaan ras, kewarganegaraan, maupun agama, namun UUD 1945 menjamin hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Dengan demikian, di Indonesia jelas bahwasanya yang menjadi hak adalah menikah namun harus sah guna melindungi hak dan kepastian hukum bagi laki-laki, perempuan, maupun anak dalam perkawinan tersebut.
Selanjutnya, suatu perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama, yang mana hak tersebut juga dilindungi oleh UUD 1945. Hal tersebut juga berkaitan dengan Pasal 28J UUD 1945 dimana dalam menjalankan hak yang telah dilindungi dalam UUD 1945, warga negara juga wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud dan tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Setiap agama yang diakui oleh Indonesia memiliki tata cara atau ketentuan yang berbeda satu dengan lainnya, begitu pula terkait pernikahan berbeda agama. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tidak menghalangi atau melarang pernikahan berbeda agama, namun frasa “menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”, merujuk pada ajaran agama dan interpretasi agama masing-masing.
- Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Pada dasarnya, perkawinan beda agama di Indonesia sendiri memang banyak mengandung pro dan kontra dan menjadi perdebatan tersendiri di kalangan masyarakat. Banyak masyarakat yang hidup dalam negara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini, yang menolak perkawinan beda agama karena banyak alasan, beberapa diantaranya adalah ajaran agama dan psikologi anak dalam perkawinan tersebut.
Ada kalanya terdengar bahwa pernikahan berbeda agama dilakukan di luar negeri karena Indonesia melarangnya. Namun jika menelisik kembali, pernikahan berbeda agama telah terjadi di Indonesia bukan hanya baru-baru ini melainkan sudah sejak lama. Memang tata cara pernikahan adalah dengan terlebih dahulu memperoleh pengesahan dari pemuka agama setempat baik itu dengan pemberkatan, ijab Kabul, atau sejenisnya, sebab pengesahan tersebutlah yang kemudian menjadi patokan bagi intitusi terkait yaitu Catatan Sipil atau KUA untuk melakukan pencatatan pernikahan.
- Nasib Penetapan Pengadilan Negeri yang Mengijinkan Perkawinan Beda Agama
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya telah mengijinkan perkawinan berbeda agama. Banyak pihak yang menentang atau bahkan menyatakan putusan tersebut bertentangan dengan hukum. Meski demikian, ternyata penetapan tersebut menjadi yurisprudensi dan banyak orang yang mulai mengajukan ijin perkawinan berbeda agama.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya tidak menjadikan penetapan oleh Pengadilan tentang perkawinan berbeda agama yang telah ada sebelumnya, menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak melarang maupun memperbolehkan perkawinan beda agama, namun hanya meluruskan interpretasi Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKewenangan Kurator Dalam Kepailitan
Laporan Kehilangan Sertifikat Tanah Berakhir Bui
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.