Membeli Kembali dalam Perjanjian Jual Beli Tanah

Jual beli membawa dua aspek penting dalam hukum perdata. Pertama, adalah kegiatan menjual, yang secara sederhana menunjukkan pada suatu proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah harta kekayaan seseorang, pada satu sisi, yang merupakan suatu bentuk kewajiban, prestasi atau utang yang harus dipenuhi. Kedua, pada sisi timbal balik, kegiatan membeli tersebut, melahirkan suatu bentuk tagihan atau hak yang merupakan kebendaan tidak berwujud yang bergerak. Kedua hal tersebut ada secara timbal balik, pada “saat yang bersamaan” pada kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Dalam jual beli terjadi dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan secara bersama-sama. Sebagaimana menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menjelaskan bahwa:
Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Berdasarkan pada rumusan tersebut jual beli merupakan salah satu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Jual beli dengan hak membeli kembali yang merupakan salah satu dari perkembangan transaksi yang terjadi di masyarakat berupa bentuk perjanjian yakni penjual (pemilik semula) mempunyai atau diberikan hak dengan suatu perjanjian untuk membeli kembali barangnya yang telah dijual tersebut sebagaimana dimaksud Pasal 1519 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengembalikan harga pembelian asal, dengan disertai penggantian yang disebutkan dalam pasal 1532.
Jual beli dengan hak membeli kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 1519 KUHPerdata, si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barang yang dijualnya, dengan mengembalikan harga pembelian asal yang disertai penggantian yang disebutkan dalam Pasal 1532 KUHPerdata. Selain itu, terdapat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1729 PK/Pdt/2004 tentang jual beli dengan hak membeli kembali.[1] Menurut putusan tersebut perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali yang diatur dalam Pasal 1519 KUHPerdata, adalah tidak diperbolehkan, karena beberapa hal:
- Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali adalah perjanjian hutang-piutang yang terselubung (semu). Artinya, bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali sebenarnya adalah perjanjian hutang piutang, yakni pemberian pinjaman dengan jaminan.
- Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali bertentangan dengan hukum adat, karena hukum adat tidak mengenal jual beli dengan hak untuk membeli kembali.
Jual beli tanah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merupakan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya yang bersifat tunai dan selanjutnya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari UUPA yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997), yang menentukan bahwa jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 Ayat (1) PP 24/1997. Makna ‘tunai’ berarti peralihan hak atas tanah terjadi bersamaan dengan pembayaran harga beli dari si pembeli. Dalam hukum tanah nasional juga telah tersedia suatu lembaga jaminan tersendiri yaitu hak tanggungan. Hak tanggungan ialah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu.
Perlu diketahui bahwa terdapat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perbuatan hukum terhadap pengalihan hak atas tanah terbagi atas 2 (dua) macam, yaitu:
- Syarat Materiil
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut:
- Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang akan dijualnya, artinya calon penjual harus jelas, ia harus berhak menjual tanah yang hendak dijualnya, dalam hal ini tentunya si pemegang yang sah dari hak atas tanah itu yang disebut pemilik. Dalam hal penjual sudah berkeluarga, maka suami isteri harus hadir dan bertindak sebagai penjual, seandainya suami atau isteri tidak dapat hadir maka harus dibuat surat bukti secara tertulis dan sah yang menyatakan bahwa suami atau isteri menyetujui menjual tanah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak mengakibatkan jual beli tersebut batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.
- Pembeli adalah orang yang berhak untuk mempunyai hak atas tanah yang dibelinya. Hal ini bergantung pada subyek hukum dan obyek hukumnya. Subyek hukum adalah status hukum orang yang akan membelinya, sedangkan obyek hukum adalah hak apa yang ada pada tanahnya.
- Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan atau tidak dalam sengketa. Menurut UUPA hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek peralihan hak adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
- Syarat Formil
- Pembuatan akta tersebut harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan jual beli atau kuasa yang sah dari penjual dan pembeli serta disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi-saksi yang memenuhi syarat sebagai saksi.
- Akta dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan dan lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
- Setelah akta tersebut dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan.[2]
Dari syarat-syarat yang diuraikan di atas, kaitannya dengan membeli kembali dalam perjanjian jual beli tanah merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam hukum. Apabila dilihat dari kacamata hukum tanah nasional praktek jual beli tanah dengan hak membeli kembali merupakan suatu penyelundupan hukum sebagaimana telah disebutkan dalam Putusan MA Nomor 1729 PK/Pdt/2004 di atas. Berlakunya UUPA, telah menghapus keberadaan lembaga jual beli dengan hak membeli kembali. Perbuatan hukum yang dilakukan dalam bentuk perjanjian jual beli yang disertai klausul hak untuk membeli kembali adalah batal demi hukum. Oleh sebab itu, perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali harus dianggap batal demi hukum.[3]
Proses dalam perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali juga menyalahi asas dalam hukum jaminan, yakni dalam hal debitor wanprestasi kreditor tidak boleh serta merta mendaku objek jaminan menjadi hak milik kreditor sebagai pelunasan hutang. Dalam hukum jaminan, pelunasan hutang manakala debitor wanprestasi ialah dengan melakukan lelang dan kemudian mengambil sejumlah uang sesuai dengan jumlah hutang yang belum dilunasi. Selain itu, ketidakadilan bagi penjual/debitor juga akan terjadi manakala pembeli/kreditor memberikan harga jual kembali (harga tebus) yang jauh lebih tinggi dari harga jual awal. Oleh sebab itu, praktek jual beli dengan hak membeli kembali dapat dikatakan sebagai praktek rentenir terselubung.[4]
Namun, pada praktiknya masih sering terdapat jual beli tanah dengan hak membeli kembali, bahkan perjanjiannya tak jarang dituangkan dalam akta notaris. Akta notaris sebagai akta yang dibuat pejabat publik tunduk pada asas praduga sah (vermoeden van Rechtmatigheid), sehingga harus dianggap sah dan mengikat para pihak sebelum dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Dengan demikian, pembatalan akta notaris yang berisi jual beli tanah dengan hak membeli kembali harus diajukan ke pengadilan negeri.[5]
[1] Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004.
[2] Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,Edisi 1, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
[3] Wardah Wardah, Penyalahgunaan Keadaan Dalam Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3191 K/Pdt/2016), Jurnal Untidar, Vol. 2, No. 2, 2018.
[4] Ibid.
[5] Habib Adjie, Kebatalan dan pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2011
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.