Mafia Kasus

Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), bukan negara yang didasarkan atas kekuasaan belaka. Konsekuensi logis dari adanya negara hukum adalah segalanya harus didasarkan atas hukum yang ada. Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Hukum dalam sebuah negara hukum ini tentunya tidak terlepas dari adanya aparat penegak hukum. Penegakkan hukum ini dapat terlaksana dengan baik jika didukung dengan adanya pihak-pihak yang mampu untuk mengawasi terlaksananya hukum tersebut. Adanya peran aparat penegak hukum yang mampu menegakkan hukum yang mana sesuai dengan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu untuk mencapai keadilan.

Menurut Soejono Soekanto, salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum diantaranya adalah faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam proses penegakan hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, peradilan, advokat dan lembaga pemasyarakatan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi keberhasilan usaha penegakan hukum di masyarakat. Permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik.[1]

Saat ini banyak kasus pelanggaran hukum yang turut menyeret para aparat penegak hukum. Mulai dari Polisi, Jaksa hingga Hakim. Dilihat dari beberapa kasus yang melibatkan aparat penegak hukum saat ini, menunjukkan bahwa mafia kasus atau dikenal juga dengan mafia peradilan masih tetap eksis di Indonesia. Kasus-kasus yang turut menyeret para aparat penegak hukum menjadi bukti adanya praktik mafia peradilan di Indonesia. Salah satu bukti nyata yang disuguhkan kepada publik yaitu terkait kasus dugaan perdagangan perkara oleh mantan sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Dari kasus tersebut, dirinya ditetapkan olek KPK sebagai tersangka kasus pengurusan perkara di lingkungan MA. Nurhadi diduga melakukan perdagangan perkara dan menerima suap serta gratifikasi senilai 46 miliar.[2]

Berkaitan dengan hal tersebut, mafia kasus atau mafia peradilan terjadi pada setiap tahapan beracara baik peradilan perdata, pidana maupun niaga. Pada tahap penyelidikan dan penyidikan dalam proses peradilan pidana, sebagai contoh, jlka ada uang, tersangka tidak harus mendekam di tahanan. Hal yang sama terjadi di kejaksaan, pasal-pasal meringankan yang dikenakan dalam tuntutan jaksa dianggap sebagai sebuah kebaikan yang harus dihargai dengan uang. Demikian pula di kalangan hakim, vonis yang dijatuhkan bisa ditawar dengan imbalan uang dan fasilitas.[3]

Dengan adanya feonomena seperti ini, perlu adanya upaya untuk menegakkan fungsi hukum dengan menegakkan etika moral penegak hukumnya. Pada dasarnya, kode etik sudah menjadi acuan moral yang telah disepakati oleh profesi hukum, seperti kode etik advokat, kode etik hakim, doktrin adhyaksa, dan sebagainya. Selain adanya kode etik dan pedoman perilaku masing-masing profesi hukum, keberadaan pengawas profesi hukum seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Kejaksaan (Komjak), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan sebagainya diharapkan dapat “menjaga” profesi hukum untuk tetap menjaga etika moralnya.[4]

Kontrol intern dan ekstern terhadap institusi penegak hukum ini merupakan kebutuhan pokok bagi kredibilitas dan perkembangan lembaga penegak hukum. Kontrol intern termasuk tindakan disiplin, penegakan kode etik, eksaminasi, pengawasan, beserta penjatuhan sanksi dan pemberian promosi. Sedangkan kontrol ekstern termasuk proses hukum, peran KPKPN, Pers, Ombudsman, Judicial Watch dan Iain-Iain. Tanpa didukung oleh adanya kredibilitas, eksistensi lembaga penegak hukum akan dikalahkan oleh virus-virus mafia peradilan, sehingga pada gilirannya akan kehilangan legitimasinya di mata masyarakat secara nasional, maupun di mata komunitas internasional.[5]

Upaya untuk mencegah mafia peradilan atau mafia kasus dapat merujuk ketentuan dari berbagai produk perundang-undangan sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
  4. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli)
  5. Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Anti Mafia Hukum Operasi Tangkap Tangan (OTT) selalu dilaksankan KPK telah berhasil menangkap para koruptor penerima suap khususnya kalangan penyelenggara negara, penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan pihak ketiga pelaku penyuap).
  6. Berbagai peraturan perundang-undangan lain berupa kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan dengan berbagai nama untuk melakukan operasi seperti OPSTIB (di masa orde baru), Operasi Sapu Jagat, Operasi Mental, Perang Melawan Korupsi (KKN) dan lain-lainnya bentuk di setiap era pemerintahan periode kepresidenan.
  7. Pembentukan lembaga kontrol/pengawas internal di setiap Institusi Penegak Hukum seperti adanya Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Kode Etik Profesi Advokat, Pengawasan Struktural di Lembaga Pemasyarakatan dibawah Departemen Kehakiman c/q. Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
  8. Putusan hakim yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, suap, pungutan liar dan sejenis lainnya. Tak terbatas terhadap penjatuhan pidana tambahan di samping pidana pokok ganda, sanksi tambahan berupa pencabutan masa hak politik terpidana dalam kurun waktu masa tertentu, pencabutan atau penutupan ijin perusahaan (koorporasi) bagi terpidana yang memilikinya, serta penyimpanan barang-barang tertentu terkait dengan aset-aset terpidana yang dimilikinya.[6]

Keberadaan mafia kasus atau mafia peradilan ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum. Sebab, dalam hal ini proses yang seharusnya adalah kesalahan dapat berubah menjadi kebenaran. Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukan terjadi secara masif dan sistemik. Dapat dilihat praktik seperti ini terjadi hampir di semua tingkat peradilan. Untuk itu adanya pengawasan terhadap penegak hukum yang terlibat merupakan konsekuensi yuridis dari adanya tindakan malpraktek dan sikap tidak profesional dari aparat penegak hukum serta dapat diberikan hukuman berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

[1] Achmad Ali, Tujuan dan Fungsi Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 74

[2] Andi Saputra, Kronologi Kasus Jual Beli Perkara Eks Sekretaris MA hingga Kasasi Ditolak, https://news.detik.com/berita/d-5884570/kronologi-kasus-jual-beli-perkara-eks-sekretaris-ma-hingga-kasasi-ditolak

[3] M. Syamsuddin, Korupsi Dalam perspektif Budaya Hukum, Jurnal Unisia, Vol. 30, Nomor 64, Juni 2007

[4] Lidya Suryani Widayati, Pengawasan Pelaksana Sistem Peradilan Pidana Dalam Pemberantasan Mafia Peradilan, Info Singkat, Vol. 12, No.11 Juni 2020

[5] Artidjo Alkostar, Masalah Mafia Peradilan dan Penanggulangannya, jurnal hukum. No. 21 VOL 9. September 2002:1-S

[6] Putu Tresna Nararya Indranugraha &I Gede Artha, Pemberantasan Mafia Hukum Di Pengadilan, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 11 No. 2 Juli 2022.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.