KPU Digugat 70 T Karena Terima Pendaftaran Gibran Sebagai Cawapres, Bagaimana Keberlakuan Putusan MK?
KPU Digugat 70 T Karena Terima Pendaftaran Gibran Sebagai Cawapres (Calon Wakil Presiden) baru-baru ini dilakukan oleh seorang dosen bernama Brian Demas Wicaksono melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[1] Penggugat dalam gugatannya menyatakan bahwa gugatan yang diajukan adalah gugatan perbuatan melanggar hukum, sebab pendaftaran calon wakil presiden yang diajukan oleh Gibran Rakabuming diduga melanggar Pasal 13 Ayat 1 Huruf Q PKPU Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut “UU 19/2023”), yaitu tentang syarat batas umur Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden paling rendah 40 (empat puluh) tahun.[2]
Melalui kuasa hukumnya, Demas menjelaskan angka gugatan Rp. 70,5 Triliiun tersebut didasarkan pada keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada publik terkait anggaran pengadaan pemilu tahun 2024 nantinya, sehingga menurut Demas perbuatan KPU diduga melanggar hukum dan menimbulkan kerugian senilai Rp. 70,5 Trilliun, yang jika nantinya dikabulkan maka akan dikembalikan kepada negara.[3] Adapun pihak yang digugat oleh Demas adalah KPU, Bawaslu RI, Prabowo Subianto, dan Gibran Rakabuming Raka.
Salah satu yang menarik tentang gugatan tersebut adalah petitum gugatan yang diantaranya meminta sebagai berikut:
- Menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya;
- Menyatakan perbuatan hukum tergugat menerima pendaftaran bakal pasangan calon presiden Prabowo Subianto (turut tergugat II) dan calon wakil presiden Gibran rakabuming Raka (Turut Tergugat III) pada hari Rabu tanggal 25 Oktober 2023 adalah perbuatan melawan hukum;
- Menyatakan segala keputusan-keputusan, surat-surat, penetapan-penetapan yang diterbitkan oleh Tergugat setelah menerima pendaftaran bakal pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto (Turut Tergugat II) dan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (Turut Tergugat III) yang berkaitan dengan pencalonan Prabowo Subianto (Turut Tergugat II) sebagai Calon Presiden dan Gibran Rakabuming Raka (Turut Tergugat III) sebagai Calon Wakil Presiden dinyatakan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya;
- Menghukum Tergugat untuk membatalkan pendaftaran bakal pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto (Turut Tergugat II) dan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (Turut Tergugat III) pada hari Rabu tanggal 25 Oktober 2023 dengan segala akibat hukumnya;
- Menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian kepada Penggugat antara lain: Kerugian Materiil: Rp.70.500.000.000.000,00 (Tujuh Puluh Triliun Lima Ratus Milyar Rupiah) Inmateriil: Rp.100 (Seratus Rupiah);
- Menghukum Tergugat, Turut Tergugat I, Turut Tergugat II, dan Turut Tergugat III untuk tunduk dan patuh terhadap putusan ini;
- Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada upaya verzet, banding, kasasi; perlawanan dan/atau peninjauan kembali (uitvoerbaar bij Voorraad);
- Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dalam perkara ini[4].
Di samping itu, Penggugat juga mengajukan permohonan provisi sebagai berikut:
- Menyatakan dan menetapkan bahwa sebelum perkara ini memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, segala bentuk surat-surat, penetapan-penetapan, dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat berkaitan dengan proses Pencalonan Tergugat II dan Tergugat III sebagai pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dinyatakan berada dalam status quo dan tidak memiliki akibat hukum;
- Memerintahkan Tergugat untuk menghentikan sementara proses tahapan pencalonan bakal pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto (Turut Tergugat II) dan Gibran Rakabuming Raka (Turut Tergugat III) sampai putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap[5].
Sebagaimana telah diketahui publik, Pasal 13 ayat (1) huruf q UU 19/2023 berkaitan dengan batas usia paling rendah untuk Capres dan Cawapres tersebut telah diuji di Mahkamah Konstitusi dan isi pasal tersebut berubah menjadi: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepada daerah”. Amar putusan tersebut menjelaskan bahwa meski seseorang belum mencapai umur 40 (empat puluh) tahun, namun orang tersebut dapat mengajukan dirinya sebagai calon presiden atau wakil presiden jika sudah pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan daerah. Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat serta memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut didasarkan pada Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
- Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
- Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
- Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
- Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang undang”.
Lebih lanjut, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya (selanjutnya disebut “UU MK”) juga menjelaskan terkait wewenang MK yaitu:
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus pembubaran partai politik; dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Berdasarkan konstitusi dan undang-undang tersebut, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang sifatnya bersifat final.
Selanjutnya, keberlakuan putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 dapat dilihat pada Pasal 57 ayat (1) UU MK yang menyatakan:
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PII-XXI/2023, telah berlaku saat dibacakannya putusan tersebut. Artinya isi dan pengertian pasal 13 ayat (1) huruf q UU 19/2023 sebelum diuji oleh MK, adalah ketentuan yang sudah tidak berlaku lagi.
Meski demikian, perlu diketahui pula bahwa putusan MK Nomor 90/PII-XXI/2023 telah menjadi polemik di masyarakat, bahkan telah terdapat laporan baik kepada KPK maupun kepada MK tentang dugaan adanya nepotisme terhadap putusan MK tersebut. Laporan-laporan tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan bagaimana bila ternyata MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) memutuskan bahwa terdapat pelanggaran etik dalam putusan tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa putusan MK adalah final. Sifat tersebut mengakibatkan tidak adanya lagi upaya hukum terhadap putusan MK.[6] Selama ini tidak pernah ada pembatalan putusan MK, bahkan dalam UU MK sendiri tidak diatur terkait batalnya putusan MK. Oleh karena itu, manakala putusan MKMK menyatakan bahwa terbukti ada konflik kepentingan, maka hal tersebut akan menjadi sejarah yang menentukan nasib putusan MK dimaksud.
Oleh karena itu, fakta KPU digugat 70T karena terima pendaftaran Gibran sebagai Cawapres oleh Demas tersebut pada dasarnya memang merupakan hak Demas, sebab hukum acara perdata memang digunakan untuk mempertahankan hak keperdataan seseorang. Namun demikian, melihat pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pada dasarnya tindakan KPU telah didasarkan pada suatu putusan MK yang bersifat final, yang oleh karena itu harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat dan lembaga terkait.
Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.
[1]https://nasional.kompas.com/read/2023/10/30/15465861/terima-pendaftaran-gibran-cawapres-kpu-digugat-atas-dugaan-perbuatan-melawan
[2] Pasal 13 Ayat (1) huruf Q Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
[3]https://news.detik.com/pemilu/d-7009547/terima-pendaftaran-prabowo-gibran-kpu-digugat-rp-70-5-triliun-di-pn-jakpus
[4]https://news.detik.com/pemilu/d-7009547/terima-pendaftaran-prabowo-gibran-kpu-digugat-rp-70-5-triliun-di-pn-jakpus
[5]https://kumparan.com/kumparannews/kpu-ri-digugat-rp-70-5-t-ke-pn-jakpus-imbas-terima-pendaftaran-prabowo-gibran-21UB6fwPHpH/full
[6] Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang j.o Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.