Konstruksi Hukum Penghalusan (Rechtsverfijning)

Salah satu sumber hukum dalam hukum positif indonesia adalah peraturan Perundang-undangan (hukum tertulis). Pada praktiknya, bisa kita temukan bahwa sebuah peraturan dapat tertinggal oleh perkembangan masyarakat, sebab asas legalitas mengharuskan terbitnya peraturan perundang-undangan lebih dahulu untuk kemudian diterapkan pada suatu fakta atau kondisi di lapangan. Dengan demikian, tidak jarang suatu tindakan yang merugikan ada sebelum terbitnya ketentuan peraturan perundang-undangan, yang pada akhirnya membuat kekosongan hukum.

Di samping kekosongan hukum, tidak menutup kemungkinan ketentuan tertulis yang berlaku mengandung makna yang tidak jelas. Sebagai kekuasaan yudikatif, Hakim yang berwenang untuk menegakkan hukum dan dilarang menolak perkara, memiliki kewajiban untuk memenuhi kekosongan hukum (leemten) dalam sistem hukum formal dari Tata Hukum yang berlaku. Pada ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Hakim) menyebutkan:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Adanya larangan tersebut mengharuskan hakim untuk melakukan penemuan hukum (Rechtviding) guna diterapkan dalam suatu perkara yang diperiksa dan akan diputusnya. Salah satu penemuan hukum tersebut dapat dilakukan dengan mencari arti dan makna yang terkandung dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan tersebut atau dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah Konstruksi Hukum dan Interpretasi (Penafsiran Hukum)

Konstruksi (rekayasa) Hukum terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu Analogi (Abstraksi), Argumentum A Contrario, dan Determinasi (Penghalusan Hukum).  Ketiga bentuk tersebut, merupakan bentuk pemahaman hukum dari cara berpikir dengan memperbandingkan, maksudnya ialah sebuah prinsip yang digunakan untuk membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya, atau hukum tersebut menyangkut hal yang sama di suatu waktu.

Penghalusan hukum merupakan salah satu bentuk penemuan hukum oleh hakim, dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan, untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan “seolah-olah” mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya, yang apabila diterapkan pasal tersebut sepenuhnya akan menimbulkan suatu ketidakadilan. Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya, akan mengakibatkan ketidakadilan sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai suatu keadilan.[1] Menurut Sudikno, dalam penghalusan hukum terdapat bentuk pengecualian-pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat umum.

Sifat penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan dari para pihak, dan apabila salah satu pihak disalahkan maka akan timbul permasalahan lain. Terkadang hakim dalam sebuah persidangan tidak dapat langsung menjalankan suatu ketentuan, walaupun ketentuan itu disebutkan secara jelas pada berkas perkara yang diajukan kepadanya, dengan pertimbangan jika ketentuan tersebut dilakukan maka perkara tersebut tidak dapa diselesaikan secara adil. Dalam hal tersebut, hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari lingkungan ketentuan yang diajukan dan selanjutnya diselesaikan menurut peraturan tersendiri atau melakukan suatu penemuan hukum. Perbuatan mengeluarkan perkara dari ketentuan tersebut dinamakan menghaluskan hukum. Contoh sederhana dalam penerapan penghalusan hukum yaitu:

Masalah perbuatan melanggar hukum pasal 1365 Perdata, adalah pihak yang salah wajib memberi ganti rugi kepada yang menderita kerugian. “Di suatu jalan terjadi sebuah tabrakan antara kendaraaan disebuah persimpangan yang tidak terjangkau oleh mata (Blind spot), akibat dari tabrakan tersebut kendaraan A dan B sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga dapat menuntut ganti rugi terhadap A, oleh karena keduanya salah dalam menjalankan kendaraannya. Dalam hal tersebut dapat diterapkan bahwa kedua pengendara tersebut sama-sama harus saling memberi ganti rugi dan tidak ada pihak yang dapat disalahkan.”

 

[1]Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 2000.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.