Kebebasan Kekuasaan Kehakiman

Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial. Independensi dan imparsialitas tersebut diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) kepada badan peradilan sebagai penyelenggara dan pribadi hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka), maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai aparatur inti kekuasaan kehakiman.

Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah ditancapkan konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun sosial telah banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata kebebasan digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk “kebebasan hakim”, maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang menafsirkan bahwa kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus didasarkan (terikat kepada dasar Pancasila).[1] Kebebasan kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa:

  • Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

Dalam interpretasi historis, dapat diketahui bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Prinsip yang terkandung di dalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian adalah bersifat kelembagaan, yaitu lembaga peradilan. Merujuk pengertian kekuasaan kehakiman dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) menyebutkan bahwa:

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Maksud dari kata merdeka memiliki konotasi makna tidak boleh terikat oleh apa pun dan tidak ada tekanan dari siapa pun. Merdeka juga berarti suatu tindakan tidak boleh digantungkan kepada apa pun atau siapa pun. Merdeka juga memiliki arti leluasa untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginan dari kebebasan itu sendiri. Apabila kata merdeka disifatkan kepada hakim, sehingga menjadi kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun.[2]

Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa putusan hakim yang menarik perhatian belakangan ini, salah satunya putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo atas perbuatan pembunuhan berencana yang ia lakukan. Putusan hakim tersebut menjadi polemik, sebab hakim memutus perkara tersebut melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum. (lebih lanjut baca artikel kami berjudul Kewenangan Ultra Petita Hakim yang Menjatuhkan Putusan Ferdy Sambo dan Putri Candrawati Jauh Di Atas Tuntutan). Hal ini sebenarnya merupakan implementasi dari kekuasaan kehakiman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU KK yang menyatakan bahwa:

  • Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
  • Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut didukung oleh pendapat Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi judiciary, dan tidak berarti bahwa hakim berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya. Hakim “subordinated” yang artinya terikat pada hukum. Ide dasar yang berkembang secara universal perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, “freedom and impartial judiciary” yang menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan maupun bentuk multi intervensi merupakan nilai gagasan yang bersifat “universal”.[3]

Dalam pelaksanaannya, kebebasan dan kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi, serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut misalnya hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa, putusan hakim tersebut harus berdasarkan 2 (dua) alat bukti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dari 2 (dua) alat bukti ini yang akan menjadi dasar keyakinan hakim untuk menentukan seseorang tersebut bersalah atau tidak dan apabila bersalah maka hakim akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan keyakinannnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili sesuai dengan hati nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Hakim bebas memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu hakim juga bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisial.[4]

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Ayat (2) UU KK. Hakim dalam memberikan suatu putusan juga memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Menurut Hoentink, hakim tidak boleh mengadili menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia terikat kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat. Scholten mengatakan bahwa, hakim terikat pada sistem hukum yang telah terbentuk dan berkembang di dalam masyarakat. Melalui tiap-tiap putusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma-norma hukum yang tidak tertulis.[5]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan kekuasaan kehakiman diartikan sebagai kemandirian atau kemerdekaan, dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman, hal ini mencakup tiga hal yaitu bebas dari campur tangan kekuasaan apapun, bersih dan berintegritas, dan profesional. Seandainya hakim tidak menemukan hukum tertulis maka hakim wajib menggali hukum dan norma tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat dan negara untuk mencapai kepastian hukum.

 

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H. & Mirna R., S.H., M.H.

 

 

 

 

[1] Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran tentang kuasa dan Wibawa, Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm. 1

[2] Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015

[3] Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Aji, Peradilan Bebas dan Contempt of Courts, Diadit Media Jakarta, 1980, hlm. 15

[4] Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum FHUII, Jakarta. 1997

[5] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.