Jangka Waktu PKPU Sementara

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau (PKPU) merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh baik oleh debitor maupun kreditor dalam perkara Kepailitan. Secara yuridis, tidak ditemukan definisi secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004). Namun, seyogianya PKPU dapat tergambar dari berbagai pasal yang ada dalam UU tersebut. Misalnya, Pasal 222 ayat (1), “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajuan PKPU dapat dilakukan oleh kreditor atau debitor. Namun catatan penting yang harus diperhatikan pada ketentuan tersebut, debitor hanya dapat mengajukan PKPU apabila mempunyai lebih dari satu kreditor. Keberadaan Kreditor sebagai pihak yang dapat mengajukan PKPU adalah salah satu bentuk perbedaan signifikan antara UU 37/2004 dengan UU No. 4 tahun 1998 yang sebelumnya mengatur tentang Kepailitan dan PKPU.

Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari tujuan PKPU yang tidak hanya menjadi kepentingan debitor untuk menghindari kepailitan, namun juga terdapat kepentingan kreditor di dalamnya. Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa pailit yang dialami oleh debitor akan juga berdampak kepada kreditor, misalnya pengurangan nilai perusahaan.[1] Pada dasarnya tujuan yang ingin diperoleh PKPU adalah kesepakatan mengenai pembayaran utang yang belum terbayarkan, atau dikenal dengan istilah perdamaian. Hal tersebut dapat dilihat misalnya pada Pasal 222 ayat (2) yang menyatakan:

Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

Inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara PKPU dengan Kepailitan. Lebih lamjut Fred B.G Tumbuan menjelaskan bahwa, PKPU tidak berdasar pada keadaan debitor yang tidak ingin membayar utangnya, begitupun tidak ingin berujung pada pemberesan harta kekayaan atau likuidasi budel pailit seperti pada kepailitan.[2]

Adapun prosedur yang harus dilakukan pada upaya PKPU dijelaskan dalam Pasal 224 UU 37/2004 sebagai berikut.

  1. Permohonan diajukan kepada pengadilan dengan ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya.
  2. Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan melampirkan rencana perdamaian.
  3. Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.
  4. Apabila terjadi keadaan pada nomor 3, debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.

Adapun prosedur lainnya sama dengan prosedur permohonan pailit yang tertuang pada Pasal 6 UU 37/2004.

Pada upaya PKPU dikenal istilah PKPU sementara. Hal tersebut pertama kali disebutkan dalam Pasal 225 ayat (2) UU 37/2004.

Dalam hal permohonan diajukan oleh Debitor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) harus mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.

Hal serupa juga disebutkan apabila permohonan diajukan oleh kreditor sebagaimana yang dimaksud Pasal 225 ayat (3) UU 37/2004. Pada UU 37/2004 sebenarnya tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan PKPU sementara. Namun, dari pasal tersebut mengindikasikan bahwa setiap permohonan PKPU pasti akan melewati tahapan PKPU sementara. Menurut Sutan Remy, sebelum Pengadilan Niaga memutuskan untuk mengadakan PKPU tetap, debitor maupun kreditor dapat mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa PKPU adalah keadaan logis konsekuen atas setiap permohonan PKPU yang memenuhi syarat, dan pengadilan wajib mengabulkan dengan batas waktu maksimal tiga hari sejak permohonan didaftarkan.

Batas waktu berlakunya PKPU sementara adalah 45 (empat puluh lima) hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (4) UU 37/2004 yang menyatakan, “Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan

Konsekuensi logis dari ketentuan tersebut, bahwa berakhirnya PKPU sementara ditentukan oleh dua keadaan, yaitu lahirnya PKPU tetap atau pernyataan pailit.

 

 

Penulis: Andri

Editor: R. Putri J. & Mirna R.

 

 

 

[1] Sutan Remy Sjahdeini, 2016, “Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.” Jakarta: Kencana, hlm. 413.

[2] Loc.cit.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.