Hukum Negara Darurat di Indonesia
Keadaan negara darurat dalam terminologi lain disebut sebagai state of emergency merupakan kondisi dimana pemerintah dalam sebuah negara melakukan sebuah respon luar biasa (extraordinary response) dalam menyikapi ancaman yang dihadapi sebuah negara.[1] Negara dapat dikatakan dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya lazim dikenal dalam kondisi-kondisi seperti perang, krisis ekonomi, mogok massal, epidemi penyakit dan juga bencana alam.[2] Dasar hukum yang mengatur mengenai negara darurat yaitu ketentuan dalam Pasal 12 dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 12
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal 22
- Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
- Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
- Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu keadaan darurat, serta dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berdasarkan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penetapan keadaan bahaya kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya (selanjutnya disebut Perppu Keadaan Bahaya).
Dalam Perppu Keadaan Bahaya dinyatakan bahwa yang mememiliki kewenangan untuk menyatakan negara dalam keadaan darurat bukan hanya Presiden, namun juga dapat dinyatakan oleh Panglima Tertinggi Angkatan Perang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Perppu Keadaan Bahaya yang menyatakan sebagai berikut:
- Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
- keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
- timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga
- hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Negara dapat dinyatakan dalam keadaan darurat apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Perppu Keadaan Bahaya. Dalam keadaan bahaya, penguasa dapat melakukan beberapa hal istimewa yang disesuaikan dengan derajat gentingnya keadaan bahaya yang dihadapi. Oleh karena itu, hal istimewa yang dapat dilakukan oleh penguada dalam keadaan bahaya, dibagi dalam beberapa tingkatan sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Umum Penjelasan Perppu Keadaan Bahaya yang menyatakan sebagai berikut:
A. Dalam keadaan darurat sipil penguasa yang bersangkutan, yaitu Penguasa Darurat Sipil, dapat:
- mengeluarkan peraturan-peraturan polisi (pasal 10);
- meminta keterangan-keterangan dari pegawai negeri (dicatat disini, bahwa dalam keadaan darurat militer/keadaan perang penguasa dapat mewajibkan setiap orang untuk memberikan keterangan) (pasal 12; selanjutnya pasal 23 dan 36, pada huruf c).
- mengadakan peraturan-peraturan tentang pembatasan pertunjukan-pertunjukan apapun juga serta semua pencetakan, penerbiatan dan pengumuman apapun juga (pasal 13);
- menggeledah tiap-tiap tempat (pasal 14);
- memeriksa dan mensita barang-barang yang disangka dipakai atau akan dipakai
untuk merusak keamanan (pasal 15); - mengambil atau memakai barang-barang dinas umum (pasal 16);
- Mengetahui percakapan melalui radio, membatasi pemakaian kode-kode dan sebagainya (pasal 17);
- membatasi rapat-rapat umum dan lain sebagainya dan membatasi atau melarang,’ memasuki dan memakai gedung (pasal 18);
- membatasi orang berada diluar rumah (pasal 19);
- memeriksa badan dan pakaian (pasal 20);
- memerintah dan mengatur badan-badan kepolisian, pemadam kebakaran dan badan-badan keamanan lainnya (pasal 21)
B. Dalam keadaan darurat militer penguasa yang bersangkutan, yaitu Penguasa Darurat Militer, selain dapat melakukan kekuasaan-kekuasaan tersebut sub A,’dapat:
- mengambil kekuasaan sipil yang mengenai ketertiban dan keamanan umum (pasal 24 ayat 1);
- memerintah dan mengatur badan-badan pemerintah sipil serta pegawai-pegawainya dan orang-orang yang diperbantukan kepadanya (pasal 24 ayat 2);
- mengambil tindakan apapun juga terhadap senjata-senjata api, senjata tajam dan barang-barang peledak (pasal 25 angka 1 );
- menguasai dan mengatur perlengkapan-perlengkapan pos, telekomunikasi dan elektronika (pasal 25 angka 2).
- membatasi atau melarang mengubah lapangan-lapangan dan benda-benda dilapangan itu (pasal 25 angka 3);
- menutup untuk sementara gedung-gedung penghibur (pasar 25 angka 4);
- melarang dan membatasi pemasukan barang-barang dari dan kedaerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat (pasal 25 angka 5);
- membatasi atau melarang peredaran barang dan lain sebagainya (pasal 25 angka 6);
- melarang dan membatasi lalu-lintas didarat, di perairan dan diudara (pasal 25 angka 7);
- mengadakan tindakan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan apapun juga serta semua percetakan penerbitan dan pengumuman apapun juga (pasal 26);
- membatasi dan meniadakan hak rahasia surat dan kawat (pasal 27);
- mengusir orang (pasal 28);
- melarang orang meninggalkan daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer (pasal 29);
- mengadakan kewajiban bekerja untuk kepentingan keamanan atau pertahanan dan
pelaksanaan peraturan penguasa keadaan darurat militer pasal 30); - mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan, perusahaan, jabatan dan seterusnya (pasal 31);
- menangkap dan menahan orang (pasal 32);
- menyimpang dari dan memberi beberapa terhadap Hinderordonnantie, Veilingheidsreglement dan sebagainya, karena ini menyinggung kekuasaan-kekuasaan yang lain (pasal 33);
- memberi persetujuan sebelum peraturan-peraturan yang bukan perundang-undangan pusat dapat dikeluarkan dan diumumkan (pasal 34 ayat 1);
- mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai hal-hal yang harus diatur oleh perundang-undangan pusat, setelah diberi kekuasaan oleh Presiden, kecuali hal-hal yang termasuk kekuasaan pengundang-undangan hanyalah apabila keadaan mendesak (pasal 24 ayat 2);
C. Dalam keadaan perang penguasa yang bersangkutan yaitu Penguasa Perang, selain dapat melakukan kekuasaan-kekuasaan-tersebut sub. A dan sub. B, dapat:
- mengambil atau memerintahkan penyerahan semua barang untuk dimiliki atau dipakai guna kepentingan keamanan atau pertahanan (pasal 37);
- mengerahkan tenaga guna mengambil barang tersebut angka 1 (pasal 37-38);
- melarang pertunjukan apapun juga serta semua percetakan, penerbitan dan pengumuman apapun juga, menutup percetakan (pasal 40);
- memanggil orang-orang untuk bekerja pada Angkatan Perang (pasal 40 angka 1);
- mencegah pemogokan/lock out (pasal 41 angka 2 dan 3);
- mengadakan militerisasi terhadap suatu jawatan, perusahaan, jabatan dan
seterusnya (pasal 42); - menunjuk suatu tempat kediaman untuk sementara bagi orang terhadap siapa
terdapat petunjuk-petunjuk bahwa ia akan mengganggu keamanan (pasal 43’1; - menyimpang dari tiap peraturan perundang-undangan pusat dalam keadaan yang
membahayakan keselamatan negara yang sangat mendesak (pasal 44)
Selain itu, dalam penjelasan Perppu Keadaan Bahaya dinyatakan bahwa dalam prinsipnya, Penguasa dalam keadaan bahaya tidak boleh menyimpang dari perundang-undangan pusat, kecuali dalam hal-hal yang diperbolehkan menurut atau berdasarkan Perppu Keadaan Bahaya. Apabila penguasa menyalahgunakan kewenangannya, maka dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 57 Perppu Keadaan Bahaya yang menyatakan sebagai berikut:
- Pejabat-pejabat Penguasa Darurat Sipil Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang yang menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepalanya oleh Peraturan ini, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima tahun.
- Ketentuan dalam ayat (1) pasal ini tidak berlaku, apabila perbuatan penyalah-gunaan termaksud merupakan tindak pidana yang telah diatur dan diancam dengan hukuman yang lebih berat dalam Undang-undang lain
[1] Didik Suhariyanto, Problematika Penetapan Perppu Kondisi Negara Dalam Keadaan Darurat Dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal USM Law Review, Vol. 4, No. 1, Jakarta: Universitas Bung Karno, 2021, hal. 192
[2] Ibid.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPidana Kesaksian Palsu
Macam-macam Penyerobotan Tanah yang dapat dikenakan Pidana
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.