Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung
Mahkamah Konstitusi dalam rapat permusyawaratan Hakim Konstitusi pada tanggal 13 Pebruari 2012 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 17 Pebruari 2012, memutuskan mengabulkan permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan untuk sebagian dan menolak untuk selain dan selebihnya.
Pasalnya anak luar kawin mendapat perlakuan yang setara dengan anak sah, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, melainkan juga mempunyai hubungan dengan ayahnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Adapun pertimbangan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagai berikut:
Pertimbangan Hukum
Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak;
Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Amar Putusan Hakim
- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
- Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
- Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Dengan demikian dapat diketahui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah memberikan ketentuan tentang hubungan anak dengan ayah kandung, dimana pemaknaan hukum “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” yang luas dan berbeda dari maksud Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibatnya semua jenis anak yang termasuk dalam ruang lingkup “anak yang dilahirkan di luar perkawinan”, mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah (anak sah).
Baca Juga:
Kedudukan Anak Dalam Keluarga Berbeda Ibu
Harta Bersama dan Perjanjian Perkawinan, Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 69/PUU-XIII/2015
Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung | Hubungan Anak Dengan Ayah Kandung |
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanHukum Agraria: 8 Asas Hukum Agraria
Terciprat Genangan Air di Jalan Karena Kendaraan Sebelah Ngebut

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.