Hibah dan Tata Cara Pelaksanaannya

Hibah dalam Hukum Perdata

Hibah dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), adalah “Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.[1]

Berkaitan dengan kecakapan seseorang untuk memberikan hibah, telah diatur dalam KUHPer Pasal 1676, yaitu :“Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu”. Selanjutnya dalam Pasal 1678 “Dilarang adalah penghibahan antara suami-istri selama perkawinan”. Dari Pasal tersebut dapat diartikan bahwa KUHPer melarang penghibahan antara suami-istri selama perkawinan, namun ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si Penghibah.

Mengenai aturan pelaksanaan hibah dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur pula dalam beberapa pasal yang terdapat dalam KUHPer. Adapun ketentuan tersebut adalah :

1. Pasal 1667 KUHPer: “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal ”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada, bersama suatu barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.

2. Pasal 1668 KUHPer: “Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal.”

Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut, tetap ada padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakekat penghibahan.[2]

Hibah yang diatur dalam Pasal 1666-Pasal 1693 KUHPer memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan hibah, di antaranya:

1. Pemberi dan penerima hibah

Hibah hanya dapat dilakukan di antara orang-orang yang masih hidup. Selain itu, semua orang pada dasarnya boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu. Anak-anak di bawah umur juga tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VII Buku Pertama KUH Perdata.

2. Barang yang dihibahkan

Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika barang itu belum ada, maka penghibahan tersebut menjadi batal.

3. Dilakukan dengan Akta Notaris atau PPAT

Hibah secara prinsip harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang naskah aslinya disimpan oleh notaris. Namun, khusus untuk hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).

 

Hibah dan Aturannya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba, yang berarti pemberian, Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.[3] Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171 huruf g mendefinisikan hibah sebagai berikut : “Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.”

Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis.

Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu :

  1. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian.
  2. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan.[4]

Selanjutnya berkaitan dengan seseorang yang dapat menerima atau memberikan hibah diatur dalam Pasal 210 KHI Ayat (1) yang menyatakan: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya pekasaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya ⅓ harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.”

 

Tata Cara Melakukan Hibah di Notaris

Pelaksanaan hibah berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, harus dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan akta aslinya disimpan oleh PPAT yang sudah ditunjuk. Apabila tidak dilakukan di muka PPAT/Notaris maka akta hibah tidak akan memiliki kekuatan hukum yang sah. Adapun penerbitan Akta Hibah harus melalui kantor kecamatan terlebih dahulu sehingga prosedur yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

  1. Pemohon memasukkan foto copy dan asli Sertifikat Hak Milik, foto copy KTP pemberi hibah, foto copy KTP suami-isteri pemberi hibah, foto copy KTP penerima hibah, foto copy dan asli PBB objek hibah tahun berjalan, lunas PBB tahun berjalan
  2. Staf menerima dan memeriksa kelengkapan berkas apabila sudah lengkap diserahkan kepada Kepala Seksi untuk diteliti lebih lanjut
  3. Kepala Seksi memasukkan berkas kepada Camat, kemudian Camat memerintahkan staf untuk membuat Surat Pengecekan Sertifikat ke BPN untuk diverifikasi dan mendapatkan stempel/cap dari BPN.
  4. Pemohon membawa surat pengecekan sertifikat ke BPN untuk diverifikasi. Setelah mendapat verifikasi dari BPN pemohon kembali ke kantor kecamatan dan memasukkan sertifikat yang sudah diverifikasi kepada Kepala Seksi.
  5. Pemohon mengisi dan membayar Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB dan Surat Setoran Pajak (SPP) PPH di Dinas Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah untuk PBB objek jual beli NJOP diatas Rp. 60,000,000,- kemudian membawa bukti bayar di kantor kecamatan
  6. Kepala Seksi memeriksa kembali kelengkapan berkas kemudian menyerahkan kepada staf untuk pembuat Akta Hibah (Tanah Bersertifikat)
  7. Staf menyerahkan draft Akta yang sudah dibuat kepada Kepala Seksi untuk diperiksa kembali draft akta kemudian Kepala Seksi membawa kepada Camat selaku PPAT bersama 2 (dua) orang saksi, pembeli, penjual/pemberi hibah untuk menandatangani Akta Hibah
  8. Setelah ditandatangani, staf melakukan penomoran, stempel PPAT dan pengarsipan selanjutnya dikembalikan kepada pemohon
  9. Pemohon menerima Akta Hibah (Tanah Bersertifikat).[5]

 

Peralihan Hak Dalam Hibah

Peralihan hak milik atas tanah karena hibah pada prinsipnya sama dengan proses dan syarat-syarat pelaksanaan jual-beli tanah biasanya. Namun yang perlu diperhatikan adalah jika pemberi hibah memiliki beberapa orang anak, sedangkan hibah atas tanah hanya diberikan kepada salah satu anaknya, sebaiknya hibah tersebut mendapat persetujuan dari semua anak-anaknya. Hal ini dikarenakan pemberian hibah tersebut menjadi salah satu faktor berkurangnya pembagian harta dalam waris pemberi hibah nantinya. Persetujuan semua ahli waris/anak-anak pemberi hibah tersebut juga mencegah terjadinya tuntutan dari keturunannya di kemudian hari. Sehingga hibah dapat dialihkan apabila para pihak saling suka rela dan pelaksanaan hibah sesuai dengan peraturan yang berlaku.[6]

Lebih lanjut dalam Pasal 212 KHI menjelaskan bahwa hibah tidak dapat dicabut kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Sedangkan dalam Pasal 1688 KUHPer pemberi hibah dapat mencabut hibah apabila: persyaratan hibah tidak terpenuhi, penerima hibah telah melakukan kejahatan yang ditujukan untuk membunuh pemberi hibah, dan penerima hibah menolak memberi nafkah/bantuan kepada pemberi hibah setelah penerima hibah jatuh miskin.[7]

Terkait dengan mencabut atau membatalkan hibah, Pasal 1688 KUHPer menjelaskan bahwa suatu hibah tidak dapat dicabut atau dibatalkan, kecuali dalam situasi-situasi berikut: jika penerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam hibah tersebut, jika penerima hibah melakukan tindakan pembunuhan atau kejahatan serius terhadap pemberi hibah, jika pemberi hibah menjadi miskin dan penerima hibah menolak memberikan nafkah kepada pemberi hibah. Selanjutnya, Pasal 1689 menjelaskan bahwa dalam situasi pertama, barang yang dihibahkan tetap berada pada pemberi hibah, atau pemberi hibah berhak meminta kembali barang tersebut, tanpa beban atau hipotek yang mungkin dikenakan oleh penerima hibah, termasuk hasil dan buah yang diperoleh oleh penerima hibah selama syarat-syarat hibah belum terpenuhi. Dalam hal ini, pemberi hibah memiliki hak yang sama terhadap pihak ketiga yang memegang properti tersebut sebagaimana terhadap penerima hibah.

Selanjutnya Pasal 1690 KUHPer mengatur bahwa dalam situasi kedua yang disebutkan oleh Pasal 1688 KUHPer, properti yang telah dihibahkan tidak dapat diganggu gugat jika telah dipindahtangankan, dihipotekkan, atau dikenakan hak kepemilikan lain oleh penerima hibah. Namun, gugatan untuk membatalkan hibah harus diajukan  di Pengadilan sesuai dengan Pasal 616 KUHPer. Semua tindakan pemindahan, pengenaan hipotek, atau hak kepemilikan lain yang dilakukan oleh penerima hibah setelah pendaftaran gugatan tersebut akan dinyatakan batal jika gugatan tersebut akhirnya dimenangkan.[8]

 

Penulis: Hasna M. Asshofri

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1]R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cet ke-25, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), 365

[2]R. Subekti. Aneka Perjanjian, cet ke-10 (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995), 95

[3]Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, juz III, (Beirut: Dar Al-Fikir, 1992), 388.

[4]Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1995), 74-75

[5]https://sippn.menpan.go.id/pelayanan-publik/8010686/pemerintah-kota-manado/penerbitan-akta-jual-beli–akta-hibah–tanah-bersertifikat-

[6]Zairi, Warmiyana. Peralihan Hak Atas Tanah Karena Hibah, Jurnal Disiplin, Vol. 2 (07), Juni 2015, 60

[7]Saniyyah, Rizqi Putri dan Ahmad Sholikin. Penarikan Kembali Harta Hibah Sebagai Harta Waris Menurut KHI dan KUHPerdata, Indonesia Journal of Law and Social-Political Gonvernance, Vol 3 (2), Agustus, 2023, 1403

[8]Zulkarnain, dkk. Pembatalan Hibah dalam Hukum Islam dan Perdata Indonesia dalam Teori Perikatan. Indonesian Journal of Humanities and Social Sciences. Vol. 4 (2), July 2023, 278

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.