Hakim Konstitusi Disanksi Ringan Karena Ubah Frasa Putusan

Beberapa waktu beredar informasi bahwa salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia diberikan sanksi etik karena mengubah frasa ‘dengan demikian’ menjadi ‘ke depan’ sehingga terjadi perubahan makna terhadap putusan yang diberikan. Hal ini disampaikan dalam amar putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan hakim terduga yaitu Guntur Hamzah terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam sapta karsa hutama, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip integritas.[1]
Guntur Hamzah adalah salah satu hakim MK yang baru saja dilantik pada akhir tahun 2022 lalu untuk menggantikan posisi Aswanto sebelumnya. Guntur Hamzah sebagai Hakim MK, secara kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK beserta perubahannya). Perlu diketahui sebelumnya bahwa seorang hakim MK harus memenuhi syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim MK sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) dan (2) UU MK yang berbunyi:
- Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
- adil; dan
- negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
- Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
- warga negara Indonesia;
- berljazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum;
- bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
- berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;
- mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
- tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
- mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung.
Dari rumusan ketentuan Pasal 15 UU MK dapat diketahui ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat sebagai Hakim MK yaitu syarat umum dan syarat khusus. Hal yang menarik dari syarat khusus yang dimuat dalam Pasal 15 Ayat (2) UU MK, terdapat pengalaman kerja 15 (lima belas) tahun di bidang hukum. Hal ini dimaksudkan agar seorang Hakim MK berkompeten dalam menjalankan tugas dan kewajibannya untuk menjaga dan menegakkan konstitusi Republik Indonesia.
Selain ketentuan yang diatur dalam UU MK, Hakim MK juga harus mematuhi kode etik yang telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi (PMK 09/PMK/2006). Keberadaan PMK 09/PMK/2006 ditujukan untuk menjaga kehormatan dan martabat Hakim Konstitusi dalam menjalankan tugasnya. Apabila dikaitkan dengan tindakan Guntur Hamzah, sebenarnya hal ini melanggar ketentuan Poin 5 Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan yang menyatakan bahwa:
- Hakim konstitusi harus menjamin penyelesaian perkara secara efisien, baik dan tepat waktu, termasuk pengucapan dan penyampaian putusan kepada pihak-pihak.
Artinya perubahan kata yang dilakukan oleh Guntur Hamzah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Poin 5 Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan PMK 09/PMK/2006. Sebab, dalam pengambilan putusan, sudah terdapat prosedur yang harus ditaati oleh setiap Hakim MK. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 66 Ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 02/PMK/2021) menyatakan bahwa:
- Mahkamah memutuskan perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan Hakim
- Pengambilan Putusan Mahkamah dilakukan dalam RPH secara tertutup setelah selesai Pemeriksaan Pendahuluan atau Pemeriksaan Persidangan
Bahkan dalam PMK 02/PMK/2021 telah diatur muatan atau hal-hal yang dimuat dalam amar putusan baik dalam pengujian materiil maupun formil. Di samping itu, Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa putusan harus dibacakan di muka persidangan yang terbuka untuk umum, dan pelanggaran atas hal tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini menunjukkan bahwa sudah terdapat susunan baku bagi Hakim MK dalam mennyusun suatu putusan dalam hal menguji perundang-undangan. Apabila terjadi kesalahan dalam penulisan maupun pengucapan pada saat sidang pembacaan putusan, maka pembenahan hanya dapat dilakukan saat pembacaan putusan tersebut, sebab putusan yang mengikat adalah putusan yang dibacakan. Mengingat kekuatan putusan MK adalah final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 Ayat (1) UU MK yang berbunyi:
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Dengan kata lain, untuk merubah Putusan MK nomor 103/PUU-XX/2022 yang terdapat perbedaan dalam putusan dengan yang diucapkan maka harus dilakukan permohonan pengujian undang-undang yang sama dengan alasan yang berbeda agar tidak terjadinya nebis in idem atau mengulang pembahasan yang telah terdapat dalam Putusan MK nomor 103/PUU-XX/2022.
Penulis: Rizky Pratama J., S.H.
Editor: R. Putri J., S.H., M.H., & Mirna R., S.H., M.H.
[1] Fajar Pebrianto, Hakim Guntur Hamzah Terbukti Ikut Ubah Putusan MK, Sanksinya Teguran Tertulis, https://nasional.tempo.co/read/1704958/hakim-guntur-hamzah-terbukti-ikut-ubah-putusan-mk-sanksinya-teguran-tertulis
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPidana Pengawasan Dalam KUHP Nasional
Akibat Hukum Penerapan KUHP Baru Bagi Terpidana yang Sedang...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.