Eksepsi Error in Persona Dalam Hukum Acara Perdata

Eksepsi Error in Persona Dalam Hukum Acara Perdata adalah salah satu tangkisan terhadap formil gugatan, disamping Eksepsi Obscuur Libel dan Kompetensi Relatif. Hukum acara perdata sendiri adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[1] Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.[2] Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa suatu hal yang penting dalam hukum acara perdata adalah sifat tata hukumnya, yaitu pada hakekatnya kehendak untuk mempertahankan ketentuan dalam hukum perdata tergantung kemauan orang-orang yang berkepentingan belaka.

 

Hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia diatur dalam Het Herziene Indlansch Reglement (HIR). HIR memberikan hak kepada Tergugat untuk mempertanyakan keabsahan formal suatu gugatan Penggugat yang dikenal sebagai eksepsi. Namun, HIR tidak mendefinisikan eksepsi itu sendiri. Menurut M. Yahya Harahap, eksepsi adalah bantahan yang menangkis tuntutan penggugat secara formalitas/formil, sedangkan pokok perkara tidak langsung disinggung. Dalam hukum acara, secara umum eksepsi dapat diartikan sebagai suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.[3]

 

Error in persona merupakan salah satu bentuk eksepsi yang dapat diajukan oleh Tergugat terhadap gugatan Penggugat. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa Tergugat dapat mengajukan eksepsi tersebut apabila gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in persona, salah satunya dikarenakan yang sah bertindak sebagai Penggugat ataupun Tergugat adalah pihak yang langsung terlibat dalam perjanjian. Apabila ada pihak luar atau pihak ketiga yang dijadikan sebagai pihak Tergugat, akan berakibat salah sasaran atau keliru orang yang digugat.[4] Artinya, eksepsi salah satu contoh bentuk error in persona adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat atau kuasanya karena pihak yang ditarik sebagai Tergugat keliru dan tidak tepat.

 

Konsep eksepsi error in persona tidak ditemukan dalam HIR. Namun demikian, ada beberapa yurisprudensi putusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum terkait eksepsi error in persona dalam suatu perkara perdata, di antaranya sebagai berikut:

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 639 K/Sip/1975 tanggal 28 Mei 1977 yang menerangkan bahwa:

Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak ada hubungan hukum dengan objek perkara. Maka, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.”

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 419 K/Pdt/1988 tanggal 22 Oktober 1992 yang menerangkan sebagai berikut:

Suatu badan hukum seperti PT yang mengadakan, membuat dan menandatangani “perjanjian”dengan pihak subyek hukum lainnya (bila terjadi wanprestasi dan tuntutan ganti rugi) haruslah ditujukan terhadap badan hukum (PT) dan bukan ditujukan pada Direktur (Utama) Badan Hukum tersebut.

 

Selain itu, menurut M. Yahya Harahap terdapat beberapa macam eksepsi error in persona yaitu:

A. Diskualifikasi in Person.

Diskualifikasi in Person terjadi jika pihak yang bertindak sebagai Penggugat merupakan orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) disebabkan penggugat dalam kondisi berikut:

  1. Tidak memiliki hak untuk menggugat perkara yang disengketakan; dan/atau
  2. Tidak cakap melakukan tindakan hukum.

 

B. Salah sasaran pihak yang digugat.

Bentuk lain error in persona yang mungkin terjadi adalah keliru menarik orang sebagai tergugat (gemis aanhoedanigheid). Dapat dikatakan juga salah sasaran. Salah satu contoh salah sasaran adalah ketika yang digugat adalah anak di bawah umur atau di bawah perwalian tanpa mengikutsertakan orang tua atau walinya. Di samping itu, dapat juga berupa tidak adanya tanggung gugat salah satu atau seluruh Tergugat atas perbuatan yang digugat oleh Penggugat, seperti gugatan yang diajukan karena perbuatan perseroan terbatas (recht persoon) namun yang digugat adalah orang perorangan (natuurlijk persoon).

 

C. Gugatan kurang pihak (plurium litis consortium)

Dapat dikatakan error in persona dalam gugatan kurang pihak apabila pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat.[5] Sebagai contoh adalah ketika yang digugat adalah ahli waris A yang seharusnya terdiri dari 5 orang, namun gugatan hanya menggugat 4 orang ahli waris.

 

Meski tidak dapat ditemukan dalam HIR, namun eksepsi error in persona dapat ditemukan dalam Pasal 8 Reglement Op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) yang mengatur bahwa suatu surat gugatan harus memuat setidaknya identitas para pihak, dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dan alasan tuntutan itu diajukan. Pada pelaksanaannya, gugatan yang disusun seringkali tidak diterima akibat adanya eksepsi error in persona, seperti kasus yang telah diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusan perdata nomor 9/Pdt.G/2019/PN. Sby.

 

Dalam perkara tersebut, hakim dalam pertimbangannya menilai bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima dikarenakan objek sengketa dikuasai oleh pihak ketiga dan telah dijadikan barang jaminan kredit serta diletakkan Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hakim dalam pertimbangannya mengacu pada ketentuan hukum acara perdata, gugatan Penggugat masih kurang pihak yang harus digugat sehingga menurut Putusan MA Nomor 62 K/Sip/1975 menyatakan oleh karena obyek perkara tidak dikuasai oleh Tergugat tetapi telah di kuasai oleh pihak ketiga, dengan demikian oleh karena pihak ketiga tersebut tidak ikut digugat, maka gugatan dinyatakan mengandung cacat plurium litis consorsium dan apabila pihak ketiga yang terlibat tetapi tidak ikut ditarik sebagai Tergugat maka gugatan Penggugat harus dinyatakan mengandung cacat formil dan gugatan yang cacat formil harus dinyatakan tidak dapat diterima.[6]

 

Dengan demikian, dalam penyusunan surat gugatan perlu memperhatikan secara detail tentang para pihak yang dapat dijadikan Tergugat. Meskipun eksepsi error in persona dikabulkan oleh hakim, putusan tersebut tidak menggugurkan pokok perkara yang dituntut. Putusan yang demikian sering disebut sebagai putusan negative, yang artinya gugatan tersebut dapat diajukan kembali dengan pokok perkara yang sama, dan tidak menjadikannya nebis in idem. Hal tersebut dikarenakan hakim belum memeriksa dan memutus pokok perkara yang diajukan pada gugatan sebelumnya.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata, Sumur Bandung, Bandung, 1992, halaman 13

[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I, Liberty, Yogyakarta, 2006, halaman 2

[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 119

[4] Ibid, halaman 114

[5] Ibid., halaman 117-119.

[6] Direktori Putusan, Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 9/Pdt.G/2019/PN. Sby, halaman 76.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.