Eksepsi Daluwarsa dan Prematur

Eksepsi Daluwarsa dan Prematur Dalam Hukum Acara Perdata adalah bentuk eksepsi disamping Eksepsi Obscuur Libel, Kompetensi Relatif, dan error in persona, Eksepsi dapat diartikan sebagai suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.[1] Eksepsi diajukan bertujuan agar pengadilan mengakhiri untuk memeriksa materi pokok perkara gugatan. Ada beberapa hal yang diminta melalui eksepsi antara lain sebagai berikut:

  1. Menjatuhkan putusan negatif, yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
  2. Berdasarkan putusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung penyelesaian materi pokok perkara.[2]

 

Pengaturan mengenai eksepsi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal Pasal 125 ayat (2), Pasal 132, Pasal 133 dan Pasal 134 Her Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Akan tetapi eksepsi dalam ketentuan-ketentuan tersebut hanya mengenal kompetensi absolut dan relatif. Adapun pada praktiknya, eksepsi yang diajukan tidak hanya 2 (dua) eksepsi tersebut, melainkan terdapat eksepsi-eksepsi lainnya, salah satunya adalah eksepsi daluwarsa dan prematur. Menurut Sudikno Mertokusumo, eksepsi terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu eksepsi prosesuil dan eksepsi materiil. Eksepsi prosesuil adalah eksepsi atau tangkisan Tergugat/Para Tergugat atau kuasanya yang hanya menyangkut segi acara. Sementara eksepsi materiil adalah bantahan lainnya yang didasarkan atas ketentuan hukum materiil.[3]

 

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa eksepsi daluwarsa dan prematur merupakan bagian dari eksepsi materiil, sebab sudah berkaitan dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau aturan yang sifatnya materiil.[4] Eksepsi daluwarsa diatur dalam Pasal 1964 KUH Perdata, dimana daluwarsa atau lewat waktu menjadi dasar hukum untuk seseorang memperoleh sesuatu atau terbebas dari suatu perikatan setelah jangka waktu tertentu.

 

Sedangkan eksepsi prematur atau yang dikenal juga dengan eksepsi dilatoir adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan. Gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan karena masih prematur, dalam artian gugatan yang diajukan masih terlampau dini.[5] Misalnya oleh karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran. Sifat atau keadaan prematur melekat pada batas waktu untuk menggugat sesuai dengan jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian atau batas waktu untuk menggugat belum sampai karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur.[6] Tertundanya pengajuan gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan, sehingga permasalahan yang hendak digugat belum terbuka waktunya. Misalnya, ahli waris yang menggugat pembagian harta warisan, padahal pewaris masih hidup. Gugatan itu prematur. Selama pewaris masih hidup, tuntutan pembagian warisan masih tertunda.

 

Eksepsi daluwarsa dapat diajukan pada setiap tingkat pemeriksaan, baik tingkat pertama maupun pada tingkat banding sebagaimana diatur dalam Pasal 1951 KUH Perdata. Berdasar ketentuan tersebut, eksepsi daluwarsa dan prematur tidak tunduk pada Pasal 136 HIR, sehingga tidak mesti diajukan pada agenda sidang jawaban. Meskipun secara peraturan boleh diajukan pada setiap tingkat pemerikasaan, namun secara ex-officio hakim mengharuskan eksepsi daluwarsa dan prematur diajukan pada saat agenda sidang jawaban. Putusan terhadap eksepsi daluwarsa dan prematur juga dijatuhkan bersama-sama dengan pokok perkara, hal mana berbeda dengan eksepsi kompetensi absolut dan relatif yang mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memutus tersendiri sebelum pemeriksaan pokok perkara.[7]

 

Ada beberapa contoh putusan hakim yang mengabulkan eksepsi gugatan daluwarsa, salah satunya adalah Putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 4/Pdt.G/2015/PN. Cjr. Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa gugatan Penggugat telah daluwarsa, dikarenakan tuntutan Penggugat atas objek sengketa telah memenuhi klasifikasi daluwarsa atau lewat waktu (expiration). Penggugat dalam hal ini tidak memiliki hak atas penguasaan tanah objek sengketa. Berdasarkan bukti dipersidangan, diketahui Penggugat secara person tidak pernah menguasai tanah objek sengketa sejak tahun 1979.[8] Oleh karena itu, Pasal 835 KUH Perdata dan Pasal 1967 KUH Perdata mengatur bahwa tuntutan kebendaan atau bersifat perorangan gugur setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) tahun, sehingga gugatan Penggugat tidak dapat diterima.

 

Sementara itu, juga terdapat putusan hakim yang mengabulkan eksepsi gugatan premature, salah satunya adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 39/Pdt.G/2017/PN. Jkt. Pst. Hakim dalam pertimbangannya mengabulkan eksepsi Tergugat terkait gugatan prematur, sebab pelelangan yang menjadi dasar gugatan perbuatan melawan hukum dari para Tergugat tidak / belum terjadi.[9] Hal ini bersesuaian dengan prinsip dalam eksepsi prematur yakni gugatan yang diajukan tersebut masih terlampau dini atau diajukan tidak sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan.

 

Dengan demikian, meskipun HIR tidak mengatur secara eksplisit, akan tetapi pengajuan eksepsi daluwarsa dan prematur dapat dilakukan. Meskipun berkaitan dengan pokok perkara, namun pengajuannya dilakukan sebelum masuk pokok perkara. Oleh karena itu, sebelum mengajukan gugatan perlu kiranya untuk memperhatikan terkait dengan jangka waktu suatu perkara, agar gugatan tersebut tidak dapat dijangkau oleh eksepsi daluwarsa ataupun prematur.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I, Liberty, Yogyakarta, 2006, halaman 2.

[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 418.

[3] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., halaman 122

[4] Sudikno Mertokusumo, Ibid., halaman 123

[5] M. Yahya Harahap, Op.Cit., halaman 457

[6] M. Yahya Harahap, Op.Cit., halaman 457

[7] M. Yahya Harahap, Op.Cit., halaman 458

[8] Direktori Putusan, Putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 4/Pdt.G/2015/PN. Cjr, Mahkamah Agung

[9] Direktori Putusan, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 39/Pdt.G/2017/PN. Jkt. Pst. Cjr, Mahkamah Agung

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.