Eksekusi Putusan Arbitrase

Arbitrase merupakan upaya hukum di luar pengadilan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan suatu perkara. Arbitrase secara historis berkembang dalam sengketa perdagangan bagi para pihak yang membutuhkan suatu penyelesaian alternatif, karena proses peradilan dianggap membutuhkan waktu yang lama serta kualifikasi hakim yang bersifat general yang terkadang tidak diinginkan.[1] Hal tersebut dilegitimasi dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) bahwa “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009) menguraikan bahwa “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.” Berdasarkan ketentuan tersebut jelas memberikan limitasi penerapan arbitrase hanya dimungkinkan dalam perkara perdata. Arbitrase merupakan upaya penyelesaian alternatif yang berbentuk perjanjian tertulis dari para pihak yang berperkara. Hal ini diuraikan dalam Pasal 59 ayat (1} UU 48/2009 bahwa “Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Secara konseptual upaya arbitrase dapat melahirkan putusan arbitrase dan putusan arbitrase internasional. Perbedaan putusan arbitrase dengan putusan arbitrase internasional terletak pada wilayah hukum lahirnya putusan tersebut. Pasal 1 angka 9 UU AAPS menjelaskan sebagai berikut.

Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Kendati sebagai upaya alternatif, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Hal ini berarti perkara yang telah diputus melalui arbitrase tidak dapat dilakukan upaya hukum lanjutan. Secara yuridis, sifat final dan mengikat tersebut ditegaskan dalam Pasal 59 ayat (2) UU 48/2009 “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.” Secara lebih spesifik hal tersebut diatur dalam Pasal 3 j.o Pasal 6 ayat (7) UU AAPS.

Pasal 3

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Pasal 6 ayat (7)

Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

Konsekuensi logis tidak adanya upaya hukum lanjutan adalah putusan arbitrase seyogianya harus dilaksanakan (eksekusi). Oleh karena sifat dasar dari putusan arbitrase adalah perjanjian, maka eksekusi putusan berbentuk pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal tersebut secara ekspresif verbis dalam Pasal 4 ayat (1) UU AAPS.

Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.

Para pihak tentunya berpotensi tidak melaksanakan hak dan kewajiban atau tidak melakukan eksekusi secara sukarela sebagaimana yang dimaksudkan dalam putusan arbitrase. Apabila kondisi tersebut terjadi, maka kewenangan mengeksekusi dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Pasal 61 UU AAPS memberikan uraian mengenai keadaan yang melegitimasi peranan pengadilan negeri dalam mengeksekusi putusan arbitrase. “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.” Perintah ini harus dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri dalam kurun waktu 30 hari sejak putusan tersebut didaftarkan di panitera pengadilan. Terkhusus untuk putusan arbitrase internasional dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 61 UU AAPS “Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Meskipun tidak terdapat upaya lanjutan, namun putusan arbitrase dapat dibatalkan. Upaya ini dilakukan apabila memenuhi beberapa keadaan yang diatur dalam Pasal 70 UU AAPS, yakni sebagai berikut.

  1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
  3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Berdasarkan Pasal 71 UU AAPS, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”  Suatu diskursus yang menarik apabila dikaitkan dengan eksekusi putusan arbitrase. Putusan yang bersifat final dan mengikat tentunya melegitimasi tindakan pelaksanaan saat putusan arbitrase itu dikeluarkan. Namun, tentunya ini akan berpotensi merugikan pihak tertentu apabila dalam proses arbitrase terdapat hal-hal yang dimaksud pasal 70 UU AAPS. Pada praktiknya, putusan arbitrase ini tidak langsung dilaksanakan apabila terdapat permohonan pembatalan arbitrase. Hal ini mengacu pada prinsip final dan mengikat dianggap hilang apabila dihadapkan pada suatu keadaan yang memungkinkan dilakukan pembatalan oleh pengadilan.[2] Namun secara yuridis belum ada ketentuan yang secara tegas mengatur hal tersebut. Penundaan eksekusi karena adanya kerugian, tentu adalah hal yang patut dilakukan. Namun, ius constituendum perlu pula menilik aspek final dan mengikat dari putusan arbitrase, dan kemungkinan terjadinya itikad tidak baik, yang bertujuan hanya semata-mata untuk menunda-nunda proses eksekusi saja.

 

[1] Mosgan Situmorang, 2017, “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure,  Vol.17, No.4 Desember, hlm. 309-320.

[2] Agustini Andriani, (2022), “Akibat Hukum Pembatalan Putusan Arbitrase dalam Kaitannya

dengan Prinsip Final and Binding,” Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol. 4, No 1 Juni, hlm. 23-36.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.