Efisiensi E-Court

E-Court merupakan salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (selanjutnya disebut Perpres SPBE). Angka 1 Ketentuan Umum Keputusan Mahkamah Agung Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (selanjutnya disebut Kepma 129/2019) menyatakan bahwa E-Court adalah aplikasi yang digunakan untuk memproses gugatan, gugatan sederhana, bantahan permohonan, pembayaran biaya perkara, melakukan panggilan sidang dan pemberitahuan, persidangan, putusan dan upaya hukum secara elektronik serta layanan aplikasi perkara lainnya yang ditetapkan Mahkamah Agung yang terintegrasi dan tidak terpisahkan dengan Sistem Informasi Penelusuran Perkara. Proses lebih lanjut tentang E-Court juga telah kami rangkum dalam artikel sebelumnya yang berjudul Tata Cara Mengajukan Gugatan dalam E-Court, Proses Administrasi Perkara Melalui E-Court, dan Kepastian Hukum Salinan Putusan E-Court.

E-Court diterapkan di Indonesia sejak Tahun 2018 melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik yang saat ini telah dicabut dan digantikan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (selanjutnya disebut Perma 1/2019). Pada tahun 2018, sebagai percontohan Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjuk 32 Pengadilan di peradilan umum, agama, dan tata usaha negara untuk melaksanakan uji coba implementasi E-Court, diantaranya adalah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Jakarta Utara, PN Jakarta Selatan, PN Jakarta Timur, PN Jakarta Barat, PN Tangerang, PN Bekasi, PN Bandung, PN Karawang, PN Surabaya, PN Sidoarjo, PN Medan, PN Makassar, PN Semarang, PN Surakarta, PN Palembang, PN Metro, sementara itu di lingkungan peradilan agama meliputi, Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat, PA Jakarta Utara, PA Jakarta Selatan, PA Jakarta Timur, PA Jakarta Barat, PA Depok, PA Surabaya, PA Denpasar, PA Medan, kemudian untuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pengadilan percontohan meliputi PTUN Jakarta, PTUN Bandung, PTUN Serang, PTUN Denpasar, PTUN Makassar dan PTUN Tanjung Pinang.[1] Mahkamah Agung menargetkan seluruh Pengadilan di Indonesia menerapkan E-Court pada tahun 2020.[2] Hal tersebut terbukti dengan data peta E-Court dalam portal E-Court Mahkamah Agung.

Sejalan dengan pengertian E-Court dalam Angka 1 Ketentuan Umum Kepma 129/2019, sistem E-Court memberikan layanan administrasi perkara, dari pendaftaran administrasi perkara, pemanggilan para pihak, penerbitan salinan putusan, tata kelola administrasi, hingga pembayaran biaya perkara seluruhnya dilakukan secara elektronik, sehingga para pihak tidak perlu datang langsung ke Pengadilan.[3] Dengan adanya E-Court mempermudah proses dalam persidangan karena pemanggilan bisa dilakukan secara elektronik termasuk meniadakan kebutuhan prosedur delegasi dalam hal para pihak bertempat tinggal di wilayah yang berbeda, sehingga dapat menekan anggaran biaya untuk pemanggilan para pihak.[4] Selain itu proses pembayaran perkara juga semakin ringkas karena e-payment memungkinkan pembayaran dilakukan secara transfer, sehingga dapat mencegah terjadinya pungutan liar di pengadilan yang sebelumnya marak terjadi.[5] Laporan Tahunan MA tahun 2018 menyebut pada tahun 2018 sebanyak 907 perkara yang masuk telah menggunakan e-court dengan rincian sebanyak 445 perkara terdaftar menggunakan e-court pada pengadilan di lingkungan peradilan umum, 422 perkara di lingkungan peradilan agama dan 20 perkara dilingkungan peradilan Tata Usaha Negara (TUN).[6]

Penggunaan E-Court juga dapat mempercepat proses penegakan hukum, utamanya dalam hal proses beracara di Pengadilan. Berikut data yang dijabarkan oleh Mahkamah Agung, dikutip dari artikel di portal PTUN Yogyakarta yang berjudul “E-Court dan Masa Depan Sistem Peradilan Modern di Indonesia” :

“Dari segi waktu penyelesaian perkara selama 2018 96,33 Persen perkara berhasil diputus tepat waktu. Sepanjang tahun 2018 Mahkamah Agung telah memutus on time case processing dalam jangka waktu 1-3 bulan sebanyak 16.911 dari 17.638 perkara (96,33%). Hanya 3,67% perkara yang diputus di atas 3 (tiga) bulan. Capaian ini melampaui target Mahkamah Agung sendiri yang menetapkan target on time case processing sebesar 75%. Bila dibandingkan dengan tahun 2017 sebelum penggunaan e-court jumlah perkara yang diterima (diregister) meningkat 10,65%, jumlah beban perkara meningkat 3,82%, jumlah perkara yang diputus meningkat 7,07%, sedangkan jumlah sisa perkara berkurang 34,73%. Sementara sisa perkara 2018 juga merupakan jumlah terkecil dalam sejarah Mahkamah Agung. Merujuk pada sisa perkara tahun 2012 yang berjumlah 10.112 perkara, hingga tahun 2018 Mahkamah Agung mampu mengikis sisa perkara sebanyak 9.206 perkara atau 91,04%. Perbandingan tersebut menunjukkan rasio produktivitas memutus Mahkamah Agung tahun 2018 naik menjadi 95,11%, atau meningkat 2,89% dibandingkan dengan rasio produktivitas memutus tahun 2017 sebesar 92,23%.”[7]

Terkait dengan data tersebut, Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2018 juga dapat diakses disini. Manfaat E-Court terasa bagi pihak yang beracara di Pengadilan, baik dari sisi waktu, tenaga, dan biaya.[8] Waktu pelaksanaan sidang menjadi lebih jelas dan pasti karena setelah mediasi dinyatakan gagal dan disepakati persidangan dilakukan melalui E-Court, majelis hakim menetapkan jadwal persidangan elektronik mulai dari agenda penyampaian jawaban sampai dengan pembacaan putusan. E-Court dapat menghemat tenaga dan biaya karena para pihak tidak perlu datang ke Pengadilan untuk menghadiri proses persidangan. Berdasarkan hal tersebut, E-Court memungkinkan pelaksanaan administrasi perkara dan proses persidangan secara sederhana, cepat dan biaya ringan dapat terwujud. Walaupun penggunaan E-Court dirasa sangat bermanfaat bagi para pihak, namun dalam pelaksanaanya masih terdapat beberapa hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya yaitu [9]:

    1. Dari segi sumber daya manusia, masih terdapat sebagian orang yang masih gagap teknologi (gaptek), sehingga dalam pelaksanaan E-Court menjadi penghambat;
    2. Terdapat agenda sidang yang pelaksanaannya kurang efisien yaitu agenda Pembuktian karena dilakukan secara E-Litigasi dan Konvensional. Kondisi ini terlihat kurang efisien karena para pihak terkesan bekerja 2 (dua) kali untuk agenda persidangan yang sama;
    3. Putusan/penetapan elektronik belum dapat diakses/di download secara utuh sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 Perma 1/2019. Bilamana melihat ketentuan tersebut, para pihak seharusnya dapat mengakses putusan/penetapan elektronik setelah perkara tersebut diputus, namun dalam pelaksanaannya para pihak hanya dapat melihat sebatas amar putusan.

Selain itu, masalah jaringan juga dapat dimungkinkan menjadi penghambat dalam pelaksanaan E-Court, terlebih lagi jika para pihak berada di wilayah pedesaan yang sulit untuk mendapatkan akses jaringan.

[1] https://ptun-yogyakarta.go.id/index.php/artikel/193-e-court-dan-masa-depan-sistem-peradilan-modern-di-indonesia.html

[2] https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/3940/sidak-tunjukkan-kesiapan-penerapan-e-court-dengan-e-litigasi-bervariasi

[3] PTUN Yogyakarta, Op Cit.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-parepare/baca-artikel/13449/Efektivitas-penggunaan-E-Court-oleh-KPKNL-Parepare.html

[9] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.