Dugaan Korupsi Proyek BTS Timbulkan Pertanyaan Proses Lelang Proyek

Dugaan Korupsi Proyek BTS (Base Transceiver Station) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah sampai pada tahap Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka. Ketiga tersangka tersebut berprofesi sebagai Direktur Utama (Dirut) Badan Aksesbilitas Telekomunikasi Kementerian Kominfo, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, dan Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia Tahun 2020. Proyek penyediaan infrastruktur BTS di Kementerian Kominfo menyangkut pelayanan digital di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Kementerian Kominfo membangun infrastruktur 4.200 site BTS. Namun, dalam pelaksanaan perencanaan dan pelelangan diduga para tersangka merekayasa dan mengondisikan, sehingga tidak terdapat kondisi persaingan yang sehat.[1]
Kasus korupsi BTS merupakan salah satu kasus lelang yang pernah terjadi di Indonesia sampai saat ini. Berdasarkan data kasus korupsi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2015 mencatat sebanyak 30% korupsi terjadi di bidang pengadaan barang/jasa. Kemudian pada tahun 2018, terjadi 167 kasus korupsi yang terjadi pada sektor pengadaan barang/jasa. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi melalui aktifitas pelelangan merupakan kegiatan yang menguntungkan, sebab biaya atau harga dapat menjadi tinggi bagi Pemerintah, untuk kemudian menjadi celah bagi pejabat mendapatkan bagian lebih dari pembayaran dan selisih harga yang sudah di mark up tersebut. Komisi dari pemasok agar persaingan dalam pengadaan barang dan jasa dapat “diatur”, dan juga suap bagi pejabat yang berwenang mengatur proses pengadaan, membuat adanya kenaikan biaya dan perubahan pada spesifikasi kontrak.[2]
Kenaikan biaya dan perubahan spesifikasi kontrak inilah yang dikategorikan masuk dalam tindak pidana korupsi. Kesempatan lain adalah bila pejabat pemerintah yang memiliki informasi penting memberikan informasi itu pada pemasok dengan sejumlah imbalan tertentu, sehingga pemasok diuntungkan dalam persaingan dengan pemasok-pemasok lain yang tidak punya informasi itu. Kemungkinan yang lain adalah, spesifikasi barang atau jasa yang sangat rinci: pejabat pengadaan barang dan jasa, mungkin dengan imbalan suap, menggugurkan pemasok-pemasok yang tidak dapat memenuhi spesifikasi sangat rinci dari barang atau jasa yang diminta, atau tidak dapat memenuhi persyaratan karena persyaratan itu sendiri luar biasa rinci dan rumitnya.[3]
Berkaitan dengan lelang proyek, saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021 (Perpres PPBJ). Pasal 1 Angka 1 Perpres 16/2018 menyebutkan bahwa:
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.
Perpres PPBJ tidak mengenal istilah lelang, melainkan menggunakan istilah tender. Tender adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya. Merujuk ketentuan Pasal 50 Ayat (1) Perpres PPBJ, pelaksanaan tender meliputi:
- Pelaksanaan Kualifikasi;
- Pengumuman dan/atau Undangan;
- Pendaftaran dan Pengambilan Dokumen Pemilihan;
- Pemberian Penjelasan;
- Penyampaian Dokumen Penawaran;
- Evaluasi Dokumen Penawaran;
- Penetapan dan Pengumuman Pemenang; dan
Dalam pelaksanaan melalui tender ini, harga yang diperoleh adalah harga biaya langsung (direct cost), sedangkan harga penawaran adalah biaya langsung ditambah sejumlah nilai nominal tertentu. Besarnya penambahan biaya tertentu tersebutlah yang disebut sebagai nilai mark-up, dengan maksud agar kontraktor memperoleh keuntungan dan menutupi biaya overhead perusahaan. Mark-up adalah selisih antara harga penawaran dengan Rencana Anggaran Biaya pekerjaan (biaya langsung ditambah dengan biaya tak langsung).
Hal yang patut untuk diperhatikan adalah, pada saat setelah terpilihnya tender dalam pelaksanaan pemilihan tersebut, yaitu tahap pelaksanaan kontrak atas penyediaan barang atau jasa. Pasal 52 Perpres PPBJ mengatur kontrak setelah adanya tender yang terpilih, ketentuan tersebut berbunyi:
- Pelaksanaan Kontrak terdiri atas:
- Penetapan Surat Penunjukkan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ);
- Penandatanganan Kontrak;
- Pemberian uang muka;
- Pembayaran prestasi pekerjaan;
- Perubahan Kontrak;
- Penyesuaian harga;
- Penghentian Kontrak atau Berakhirnya Kontrak;
- Pemutusan Kontrak;
- Serah Terima Hasil Pekerjaan; dan/ atau
- Penanganan Keadaan Kahar.
- PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani Kontrak dengan Penyedia, dalam hal belum tersedia anggaran belanja atau tidak cukup tersedia anggaran belanja yang dapat mengakibatkan dilampauinya batas anggaran belanja yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai APBN/APBD.
Permasalahan umum yang terjadi pada sebagian besar kasus-kasus konstruksi baik itu yang terdakwanya adalah pihak Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa, merupakan permasalahan dimana terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan terhadap kontrak, baik oleh Penyedia Jasa maupun oleh PPK. Jika permasalahannya demikian, maka rujukan penyelesaian yang paling tepat berdasarkan sudut pandang hukum konstruksi adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jasa konstruksi.
Terkait permasalahan ketidaksesuaian pelaksanaan pekerjaan di lapangan terhadap kontrak, pihak Konsultan Pengawas seharusnya menjadi pihak pertama yang bertanggungjawab secara administratif terhadap permasalahan tersebut. Konsultan Pengawas merupakan penyedia jasa konsultansi yang karena kompetensinya mengetahui hal-hal yang bersifat teknis terkait pelaksanaan pekerjaan disewa oleh pengguna jasa (PPK) untuk dapat mengawasai dan mengendalikan pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan ketentuan teknis yang disyaratkan.[4]
Dari uraian tersebut, banyak hal yang dapat menjadi petunjuk mengenai kemungkinan adanya korupsi pada tahap seleksi pemasok untuk menentukan pemenang dalam proses pengadaan barang dan jasa. Misalnya, kontrak tidak diberikan kepada pemasok dengan harga penawaran terendah atau diberikan kepada pemasok yang tidak berpengalaman, spesifikasi atau kontrak dirancang untuk menjaring pemasok tunggal, spesifikasi diubah sehingga lelang harus diulang dari awal, dan biaya yang jauh lebih tinggi dari standar harga nasional atau internasional.
Penulis: Rizky P.J.
Editor: R. Putri J. & Mirna R.
[1] Aria Triyudha, Kasus Korupsi BTS Seret Tiga Tersangka, Salah Satunya Dirut Bakti Kominfo, https://www.inilah.com/kasus-korupsi-bts-seret-tiga-tersangka-salah-satunya-dirut-bakti-kominfo
[2] R. Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 227.
[3] A. Rosidi, Korupsi dan Kebudayaan. Pustaka Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 10.
[4] Eka Priska Kombong, Arief Setiawan Budi Nugroho & Richo Andi Wibowo, Pelayanan Publik dan Kajian Putusan Korupsi Pengadaan Jasa Konstruksi dalam Perspektif Kontrak Jasa Konstruksi, INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi, 6 (2), 2020.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMendekati Batas Waktu Inkonstitusional Bersyarat UU Cipta Kerja, Terbitlah...
Pasal-Pasal Ketenagakerjaan Dalam Perpu Cipta Kerja yang Berbeda Dengan...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.
