Dokter Gadungan Lulusan SMA

Dokter Gadungan Lulusan SMA menjadi topik pembicaraan cukup hangat belakangan ini. Seorang pria lulusan SMA bernama Susanto diduga melakukan penipuan dengan menjadi dokter gadungan di PT Pelindo Husada Citra (PHC) Surabaya. Susanto diduga menggunakan identitas dan data diri dokter bernama Anggi Yurikno saat melamar pekerjaan sebagai Dokter First Aid di PT PHC, setelah diterima Susanto bertugas sebagai Dokter Hiperkes Fulltimer pada PHC Clinic yang ditugaskan di Klinik K3 PT Pertamina EP IV Cepu, Jawa Tengah.
Terbongkarnya dugaan tipu muslihat Susanto bermula saat Ika Wati Manajemen RS PHC meminta sejumlah berkas persyaratan lamaran pekerjaan untuk memperpanjang masa kontrak kerja Susanto alias dr Anggi Yurikno palsu. Ika Wati menyampaikan dirinya menemukan perbedaan antara foto wajah Susanto pada salah satu berkas dr Anggi Yurikno dan perbedaan data pada website yang ia temukan. Ia memperoleh informasi bahwa dr Anggi Yurikno bekerja di Rumah Sakit Umum Karya Pangalengan Bhakti Sehat Bandung.[1]
Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Susanto tersebut cukup mengejutkan, pasalnya ia telah menjadi “dokter” selama 2 (dua) tahun di Rumah Sakit PHC. Beruntungnya dugaan tindakan Susanto tersebut tidak mengambil korban nyawa, sebab Susanto diangkat sebagai Dokter Hiperkes atau biasa dikenal dengan Dokter K3. Tugas dokter K3 biasanya bekerja pada suatu perusahaan atau klinik milik perusahaan, yang memberikan pertolongan pertama kepada karyawan, memeriksa kesehatan karyawan sebelum bekerja dan memastikan karyawan tersebut cukup fit untuk bekerja.
Meski Susanto hanya bertugas sebagai dokter Hiperkas, namun pada dasarnya dokter Hiperkas juga harus bergelar Sarjana Kedokteran. Oleh karnea itu, pertanyaan bagaimana perekrutan dan syarat menjadi dokter pun muncul.
Syarat paling dasar bagi dokter sebagai tenaga Kesehatan adalah Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 dan Pasal 46 Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU 36/2014). Guna memperoleh STR dan SIP tersebut, juga dibutuhkan persyaratan lainnya. Persyaratan untuk mendapatkan STR meliputi:[2]
- Memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
- Memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
- Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
- Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
- Membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Sedangkan untuk memperoleh SIP, seorang dokter harus memiliki:[3]
- STR yang masih berlaku;
- Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
- Tempat praktik.
Selanjutnya, Perusahaan dalam memperkerjakan seorang Dokter Perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan pelatihan dalam bidang Hygiene Perusahaan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi No. Per. 01/Men/1976 Tentang Kewajiban Latihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan. Setelah lulus pelatihan, peserta akan mendapatkan sertifikasi resmi sebagai Dokter Hiperkes pada suatu perusahaan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sehingga apabila perusahaan tersebut tidak melaksanakan kewajibannya maka, perusahaan dapat diancam dengan hukuman sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang menyatakan:
“Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggitingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).”
Akibat dugaan tindakan Susanto tersebut, PT PHC Surabaya mengalami kerugian sebesar Rp 265 juta karena telah menggaji Susanto selama dua tahun. Sehingga PT PHC memberikan sanksi kepada tiga orang karyawan yang bertugas melakukan interview dan meloloskan Susanto pada 2020 lalu dan bahkan salah satu di antaranya adalah seorang dokter dari RS PHC.
Sedangkan sanksi bagi Susanto atas dugaan tindak pidana yang dilakukannya, dapat diancam dengan pasal berlapis. Pertama adalah pasal pelanggaran dalam KUHP yang mengatur lebih spesifik tentang pemalsuan identitas sebagai dokter, yakni Pasal 512a KUHP yang secara jelas mengatur:
“Barang siapa sebagai mata pencarian, baik khusus maupun sebagai sambilan menjalankan pekerjaan dokter atau dokter gigi dengan tidak mempunyai surat izin, di dalam keadaan yang tidak memaksa, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda setinggi-tingginya seratus lima puluh ribu rupiah.”
Lebih lanjut, karena dugaan tindakannya kepada PT PHC, Susanto dapat dikenakan Pasal 378 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau kedaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”
Selain itu dalam Pasal 73 ayat (1) jo. Pasal 77 UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur bahwa, terhadap pelaku yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Selanjutnya, dalam Pasal 64 jo. Pasal 83 UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan diatur pula tentang larangan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin, yang dapat diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal-pasal tersebut di atas pada dasarnya cukup memberatkan bagi terduga pelaku. Meskipun demikian, tidak jarang ketidaktahuan tentang peraturan dan pemikiran para pelaku yang lebih mementingkan keuntungan semata tetap melakukan pelanggaran, bahkan menyalahgunakan teknologi saat ini.
Penulis: Adelya Hiqmatul M., S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.
[1] Esti Widiyana dan Praditya Fauzi Rahman. “Lulusan SMA 2 Tahun Jadi Dokter Gadungan, Berujung ke Pengadilan”. https://news.detik.com/berita/d-6928181/lulusan-sma-2-tahun-jadi-dokter-gadungan-berujung-ke-pengadilan
[2] Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
[3] Pasal 46 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.