Dasar Hukum dan Tata Cara Pidana Kebiri Kimia

Dasar hukum dan tata cara pidana kebiri kimia banyak menjadi pertanyaan di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin hari kejahatan terhadap anak semakin berada dalam kondisi yang meresahkan. Pidana yang sebelumnya berlaku dianggap tidak dapat memberikan efek jera sehingga muncul gagasan hukuman kepada pelaku tindak pidana dengan korban anak berupa tindakan kebiri kimia.
Atas dasar keresahan tersebut, pada tanggal 25 Mei 2016, diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut ‘Perppu 1/2016’) yang kemudian disahkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut ‘UU 17/2016’).
Perppu 1/2016 menambah ayat dalam ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut ‘UU 35/2014’) sebagai berikut:
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
- Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
- Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
- Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
- Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
- Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 81 Ayat (7) Perppu 1/2016 menentukan terhadap pelaku kejahatan yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain dan kejahatan tersebut dilakukan lebih dari sekali atau mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia yang juga biasa dikenal sebagai kejahatan predator anak, maka pelaku kejahatan dapat diberikan pidana berupa tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Terdapat unsur kata ‘dapat’ dalam pasal tersebut sehingga pasal tersebut merupakan suatu hukuman pidana tambahan yang diberikan berdasarkan kebijaksaan hakim yang memutus perkara dimaksud.
Pasal 81A Perppu 1/2016 Ayat (1) menentukan tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaksanaan tindakan kebiri kimia dilakukan di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan dan disertai dengan rehabilitasi (Pasal 81A Perppu 1/2016 Ayat (2) dan (3)). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak (selanjutnya disebut ‘PP 70/2020’).
Pasal 1 Angka 2 PP 70/2020, menyatakan bahwa tindakan kebiri kima merupakan tindakan pemberian zat kimia melalui metode penyuntikan maupun metode lain kepada pelaku kekerasan seksual yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kepada anak untuk melakukan persetubuhan dengannya maupun dengan orang lain, yang menyebabkan korban lebih dari satu, mengakibatkan luka berat, gangguan kejiwaan, penyakit seksual menular, terganggu atau hilangnya fungsi organ reproduksi, dan atau mengakibatkan korban meninggal, tindakan ini dilakukan untuk menekan hasrat seksual yang berlebih, yang disertai dengan rehabilitasi.
Berdasarkan Pasal 3 PP 70/2020, pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan kebiri kimia adalah petugas yang berkompeten di bidangnya sesuai dengan perintah Kejaksaan.
Tahapan-tahapan kebiri kimia berdasarkan Pasal 6 PP 70/2020 terdiri atas:
- penilaian klinis;
- Kesimpulan; dan
Penilaian Klinis diatur dalam Pasal 7 PP 70/2020, yaitu dilakukan oleh tim yang berkompeten dibidang medis dan psikiatri.
Pada tahapan tersebut, dilakukan wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada tahapan awal sebelum dilakukannya penilaian klinis, kementerian di bidang penyelenggaraan hukum menyampaikan pemberitahuan kepada jaksa, dilakukan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum terpidana selesai menjalani pidana pokok dan dalam jangka 7 (tujuh) hari kerja setelah adanya pemberitahuan, jaksa kemudian berkoordinasi dengan kementerian di bidang kesehatan untuk melakukan penilaian klinis, maka penilaian klinis dimulai paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah adanya koordinasi.
Tahap kesimpulan diatur pada Pasal 8 PP 70/2020, yaitu memuat hasil kesimpulan dari tahapan penilaian klinis untuk memastikan apakah pelaku layak atau tidak untuk diberikan hukuman kebiri kimia dan kesimpulan ini harus disampaikan kepada jaksa paling lambat 14 (empat belas) hari. Tahap Pelaksanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 PP 70/2020, dilakukan setelah dalam tahap kesimpulan menyatakan bahwa pelaku layak untuk diberikan hukuman kebiri kimia. Atas dasar tersebut, kemudian jaksa memerintahkan dokter guna melaksanakan kebiri kimia.
Pelaksanaan tindakan kebiri kimia dilakukan setelah terpidana selesai menjalani hukuman pidana pokok. Pelaksanaan hukuman kebiri kimia dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau daerah yang ditunjuk oleh jaksa, pada saat pelaksanaanya dihadiri oleh jaksa, perwakilan kementerian hukum, perwakilan kementerian sosial, dan perwakilan dari kementerian kesehatan. Pelaksanaan ini dituangkan ke dalam berita acara, dan kemudian diberitahukan kepada korban maupun keluarga korban (Pasal 9 Huruf d, e, f dan g PP 70/2020).
Lebih lanjut, apabila pelaku tidak layak untuk diberikan hukuman kebiri maka hukuman akan ditunda selama 6 (enam) bulan, dan selama itu akan terus dilakukan penilaian klinis ulang dan kesimpulan ulang guna memastikan kembali apakah pantas atau tidak. Apabila pelaku tetap tidak layak diberikan hukuman kebiri kimia, maka jaksa memberitahukan kepada pengadilan yang memutus perkara tingkat pertama secara tertulis dengan melampirkan hasil penilaian ulang dan kesimpulan ulang (Pasal 10 PP 70/2020).
Apabila pelaku melarikan diri maka berdasarkan Pasal 11 PP 70/2020 menyatakan bahwa pelaksanaan akan ditunda, dan jaksa bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam menanganinya. Jika pelaku tertangkap atau menyerahkan diri maka jaksa akan berkoordinasi kembali dengan kementerian bidang hukum, kementerian bidang sosial, dan kementerian bidang kesehatan.
Sejauh ini, penulis belum pernah menemukan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana kebiri kimia kepada pelaku kejahatan predator anak di Indonesia, namun masyarakat luas sempat mengharapkan penjatuhan hukuman kebiri kimia diberikan kepada Herry Wirawan sebagai pelaku pemerkosaan terhadap 13 (tiga belas) santriwati di Bandung. Sayangnya hal tersebut tidak dapat dilakukan mengingat hukuman pidana pokoknya adalah hukuman pidana mati sedangkan hukuman kebiri kimia baru dilakukan setelah pelaku selesai menjalani hukuman pidana pokok.
Di sisi lain, terdapat beberapa negara yang juga menerapkan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual dengan korban anak, yaitu Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia, Polandia, Negara bagian AS California, Australia, Selandia Baru, Russia, Korea Selatan, Israel, Estonia, dan Moldova. Sebagai contoh, negara Russia memberlakukan hukuman kebiri kimia pada tahun 2011, hukuman ini diberlakukan secara nasional dengan prosedur yang dilakukan yakni dengan pengadilan setempat meminta hasil forensik pelaku guna langkah medis, selanjutnya pengadilan melakukan penyuntikan zat depoprovera ke dalam tubuh pelaku, setelah dilakukan kebiri kimia, pelaku kemudian harus menjalani hukuman kurungan penjara yang telah ditetapkan oleh pengadilan.[1]
Penulis: Mirna R., S.H., M.H., CCD.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
- Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Ddan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak;
- Andreas Adithya dan Maharani Nurdin, “Penerapan Peraturan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 4 Tahun 2021.
[1] Andreas Adithya dan Maharani Nurdin, “Penerapan Peraturan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 4 Tahun 2021, hlm. 656.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.