Batas-Batas Antariksa Negara

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (selanjutnya disebut UU Wilayah Negara) menyatakan bahwa:

“Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, batas-batas negara dari sisi ketinggian sama halnya dengan batas wilayah udara suatu negara. Pasal 6 ayat (1) huruf c UU Wilayah Negara menyatakan bahwa batas wilayah udara negara Indonesia mengikuti batas kedaulatan negara didarat dan dilaut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional. Norma hukum internasional yang dijadikan rujukan dalam menentukan batas wilayah udara Indonesia, yaitu Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation) (selanjutnya disebut Konvensi Chicago 1944).[1]

Konvensi Chicago 1944 mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta serta mengakui kedaulatan seluruh negara diruang udara atas wilayahnya (airspace). Hal tersebut tercermin dalam ketentuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan sebagai berikut:

“the contracting states recognize that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”.

Ketentuan tersebut merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara (airspace) dan telah hidup sebagai hukum kebiasaan internasional dalam praktek negara-negara di Eropa.[2] Konsep kedaulatan negara di ruang udara ini merupakan perkembangan dari konsep hukum Romawi yang berbunyi “cujus est solum, ejus esque ad coelum” yang berarti “Barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala yang berada di atasnya sampai ke langit dan segala yang berada di dalam tanah”.

Batas vertikal sesungguhnya sangat penting. Pada tanggal 3 Desember 1976, delapan negara khatulistiwa, yaitu Colombia, Ecuador, Congo, Indonesia, Kenya, Uganda, Zaire, dan Brasil menandatangani Deklarasi Bogota yang mengklaim bahwa geostasioner adalah sumber daya alam langka yang oleh karena itu delapan negara tersebut mengklaim sumber daya alam tersebut.[3] Deklarasi Bogota pada dasarnya mencegah negara-negara lain untuk meluncurkan satelit ke geostasioner. Geostasioner sendiri adalah berhubungan dengan atau mengenai satelit buatan yang berjalan mengelilingi khatulistiwa yang sama cepatnya dengan rotasi bumi sehingga satelit itu kelihatan tetap di satu tempat, letak geostasioner berada pada ketinggian 35.900 km di atas permukaan bumi. Namun deklarasi tersebut ditentang oleh negara-negara yang telah dan akan meluncurkan satelit.

Berdasarkan lapisannya, luas ruang udara menembus dirgantara. Dirgantara dipahami sebagai ruang diatas permukaan bumi beserta benda alam yang terdapat didalamnya dan berawal dari ruang udara hingga mencakup antariksa yang meninggi dan meluas tanpa batas.[4] Dimensi ruang dirgantara yang dianut secara internasional terdiri dari ruang udara (air space) sebagai wilayah kedaulatan dan ruang antariksa (outer space) sebagai kawasan kepentingan internasional. Penentuan garis batas perbatasan negara (delimitasi) dalam ruang wilayah udara belum ada ketentuan pasti, namun diperkirakan berkisar 110-130 km D.P.L.[5] Belum adanya delimitasi vertikal wilayah ruang udara dan ruang angkasa menimbulkan kesulitan untuk memberikan definisi kepemilikan atas wilayah ruang udara secara nasional. Oleh karena itu, untuk menentukan batas negara dari sisi ketinggian ditentukan oleh klaim masing-masing negara yaitu sekitar 110-130 km.[6] Secara nasional, Indonesia juga belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur dan menetapkan mengenai batas wilayah udara negara Indonesia, namun Indonesia telah memiliki pengaturan mengenai antariksa yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan.

.

[1] Baiq Setiani, Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya Penegakan Pelanggaran Kedaulatan Oleh Pesawat Udara Asing, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 3, Jakarta: Universitas Azzahra, September 2017, hal. 493.

[2] Ibid, hal. 494.

[3] Mardianis, Hukum Antarika, Depok: Rajagrafindo Persada, 2016, hal. 53

[4] https://www.kemhan.go.id/strahan/wp-content/uploads/migrasi//Produk/batas_udara.pdf

[5] Ibid.

[6] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.