Asas Hukum Ketika Hakim Ragu-ragu Dalam Memutus Perkara

Menurut Bellefroid, asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut, Scholten berpendapat asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi boleh harus ada.
Dari berbagai pikiran-pikiran ahli, Sudikno Mertokusumo menyimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Fungsi asas hukum dalam hukum menurut Klanderman bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Bersifat mengesahkan karena mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim. Akan tetapi di samping itu fungsi asas hukum dalam hukum adalah melengkapi sistem hukum: membuat sistem hukum luwes.[1]
Dalam ranah hukum pidana, dikenal suatu asas yang dapat digunakan hakim dalam hal hakim ragu-ragu dalam memutus perkara yaitu asas in dubio pro reo yang artinya dalam hal keragu-raguan, hakim harus memutuskan sedemikian sehingga menguntungkan terdakwa[2]. Hukum acara pidana Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP. Pasal 183 KUHAP memberikan suatu kaidah bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pasal 183 KUHAP tersebut mensyaratkan penjatuhan pidana kepada seseorang yang harus didasarkan dari keyakinan hakim berdasar sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (Pasal 184 Ayat (1) KUHAP). Lantas ketika telah terdapat dua alat bukti yang sah yang menunjukkan bahwa terdakwa benar-benar memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana namun hakim masih belum yakin untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, apakah artinya hakim bebas memutus untuk membebaskan terdakwa berdasarkan asas in dubio pro reo?
KUHAP rupanya telah mengatur tentang penerapan asas in dubio pro reo. Berdasarkan Pasal 182 Ayat (6) KUHAP, putusan hakim dihasilkan dalam suatu musyawarah majelis untuk mencapai mufakat bulat. Hal tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaan Kehakiman”) yang menentukan “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain” sehingga umumnya musyawarah majelis hakim dilakukan oleh 3 (tiga) orang hakim untuk menghindari hasil musyawarah yang tidak ada titik temu. Pasal 182 Ayat (6) KUHAP menentukan apabila musyawarah majelis hakim tidak menghasilkan mufakat bulat, maka yang berlaku adalah:
- putusan diambil dengan suara terbanyak;
- jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Artinya asas in dubio pro reo diberlakukan dalam hal musyawarah majelis hakim tidak menghasilkan mufakat bulat dan voting majelis hakim menghasilkan suara yang seimbang (deadlock). Meski demikian, perlu diingat ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penulis: Mirna R., S.H., M.H., CCD.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.
Sumber:
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; dan
- Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009.
[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 5-6.
[2] Ibid, hlm. 7.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.