Argumentum A Contrario

Hukum sebagai suatu sistem harus diartikan sebagai sebuah tatanan yang memiliki karakter yang harmonis dan lengkap. Sistem hukum bersifat terbuka untuk dipengaruhi dan/atau mempengaruhi sistem-sistem lainnya. Dalam sebuah perkembangan, masyarakat hukum dituntut untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Adakalanya perubahan tersebut dapat menuntut pergantian secara substansial di dalam sebuah sistem hukum, misalnya dengan cara mencabut sebuah Undang-undang yang lama atau adanya suatu pemaknaan yang baru terhadap ketentuan tersebut melalui penemuan hukum oleh Hakim.

Sebelumnya tim Hukumexpert.com telah membahas terkait metode penemuan hukum melalui metode kontruksi yakni Analogi Hukum[1] dan Pengahalusan Hukum (rechtsverfijning).[2] Metode konstruksi hukum yang lain yaitu Argumentum a Contrario, yaitu pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. Dalam Argumentum a Contrario, hakim dituntut untuk menghindari kekeliruan dalam memberikan suatu argumen, kekeliruan dalam memberikan argumen tersebut antara lain:[3]

  1. Argumentum ad Baculum, yaitu jenis kekeliruan penalaran yang terjadi karena argumen yang diajukan disandarkan pada pengaruh kekuasaan seseorang yang berargumen untuk memaksakan sebuah kesimpulan.
  2. Argumentum ad Hominem, yaitu kekeliruan yang terjadi karena argument yang diberikan dengan sengaja diarahkan untuk menyerang orang secara langsung, atau sebaliknya argumen yang menunjukkan pola pikir pada mengutamakan kepentingan pribadi.
  3. Argumentum ad Ignorantiam, yaitu sebuah argumen yang bertolak dari anggapan yang tidak mudah dibuktikan kesalahannya, atau tidak mudah dibuktikan kebenarannya. Maksudnya, mengargumentasikan suatu proposisi sebagai sesuatu yang benar karena tidak terbukti bersalah, atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar.
  4. Argumentum ad Misericordian, suatu argumen yang didasarkan pada perasaan belas kasihan, yakni dalam penarikan kesimpulan yang ditarik tidak menitikberatkan pada fakta yang dipersalahkan, melainkan semata-mata pada perasaan belas kasihan.
  5. Argumentum ad Populum, yaitu agumen yang digunakan untuk mengendalikan emosi masyarakat terhadap kesimpulan yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang jelas. Argumen seperti itu dalam bentuk lain dilakukan dengan cara menarik massa, misalnya membawa nama rakyat sebagai dasar pembuktian.
  6. Argumentum ad Verecundiam atau Argumentum Auctoritatis, yaitu argument dari para saksi ahli dan/atau pakar yang dianggap menguasai permasalahan hukum yang dihadapi sehingga pendapat mereka dianggap paling benar dan sahih.

Sebagai contoh penafsiran argumentum a contrario dapat kita temukan pada Pasal 34 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang menyatakan bahwa:

Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian.”

Dalam ketentuan ini tidak mengatur bagaimana terhadap duda yang hendak kawin lagi, maka hakim menggunakan metode argumentum a contrario bahwa bagi duda berlaku kebalikan dari pasal tersebut, sehingga seorang duda tidak perlu menunggu masa tertentu untuk kawin lagi, karena Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.

[1] https://hukumexpert.com/analogi-hukum/

[2] https://hukumexpert.com/konstruksi-hukum-penghalusan-rechtsverfijning/

[3] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.2, Bayumedia, Malang, 2006, hlm. 259-264.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.