Anak Jadi Ahli Waris: Aturan Dalam Hukum Perdata Umum dan Hukum Islam

Hukum Mengatur Anak Jadi Ahli Waris

Secara umum pengertian Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan perubahannya (selanjutnya disebut “UU Perlindungan Anak”), anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. Undang-undang tersebut memliki tujuan untuk melindungi anak-anak dari berbagai bentuk eksploitasi, kekerasan, dan perlakuan yang merugikan. Melalui pengaturan tersebut, pemerintah berupaya memberikan landasan hukum untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi dan mereka dapat tumbuh kembang dengan aman dan sehat. Pengertian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu:

  • Anak masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental.
  • Anak belum memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
  • Anak masih membutuhkan perlindungan dari orang tua atau orang dewasa lainnya.

Dengan demikian, anak merupakan kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan khusus dari negara dan masyarakat.

 

Anak Jadi Ahli Waris Dalam Hukum Perdata Umum

Waris merupakan salah satu hukum yang banyak dipelajari dalam masyarakat, namun juga tidak mudah bagi beberapa praktisi dan mahasiswa hukum. Masih banyak pula pihak-pihak yang salah dalam membedakan istilah pewaris dan ahli waris.

Asas yang terdapat dalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) adalah prinsip kematian, yang berarti hak waris muncul hanya akibat dari kematian (sebagaimana diatur dalam Pasal 830 KUH Perdata). Oleh karena itu, sistem hukum warisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang dikenal sebagai 61 Burgerlijk Wetboek pada masa pemerintahan Belanda juga dikenal dengan tiga asas tambahan, yakni:[1]

  1. Asas Ijbari (Paksaan)

Asas ini pemindahan harta dari individu yang telah meninggal kepada ahli waris terjadi secara otomatis, tanpa ada kemampuan individu atau lembaga untuk menunda proses tersebut. Dalam konteks ini, hubungan antara waris dan ahli waris memerlukan penerimaan dan pembagian harta warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang dapat dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi (ijbar).

  1. Asas Bilateral-Individual

Terminologi bilateral, sebagaimana yang dijelaskan oleh Hazairin dan dikaitkan dengan sistem keturunan, mengindikasikan integrasi dalam keluarga dengan mengakui hubungan keturunannya dengan baik pihak ibu maupun bapak. Dalam konteks hukum waris, prinsip bilateral memiliki arti bahwa ahli waris dapat menerima hak warisnya dari kedua sisi, baik dari kerabat laki-laki maupun perempuan.

  1. Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian

Prinsip kesetaraan dalam hukum waris Islam mencakup kesetaraan dalam hak mewarisi harta baik dari pihak ibu maupun bapak, serta dari kerabat lainnya. Kesetaraan tersebut dilihat dari aspek jenis kelamin dan usia setiap ahli waris. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk mewarisi harta peninggalan dari ibu, bapak, dan kerabatnya. Demikian pula, hak mewarisi berlaku secara setara antara orang dewasa dan anak-anak.

  1. Asas Personalitas Ke-Islaman

Prinsip ini menetapkan bahwa transfer harta warisan hanya terjadi antara pewaris dan ahli waris yang memiliki agama Islam. Jadi, jika salah satu di antaranya tidak memeluk agama Islam, tidak ada hak warisan yang saling berlaku.

Dalam Hukum perdata, anak jadi ahli waris ketika kedua atau salah satu orangtuanya meninggal dunia. Anak berhak menerima harta warisan dari orang tuanya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Pembagian harta warisan kepada anak dalam hukum perdata umum didasarkan pada persamaan derajat, yaitu setiap anak berhak menerima bagian yang sama tanpa membedakan jenis kelaminnya.

Pembagian harta warisan kepada anak dalam hukum perdata umum didasarkan pada ketentuan Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi sebagai berikut:

“Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami dan isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini, Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu”

Pasal tersebut menyatakan bahwa pihak yang berhak menjadi ahli waris mencakup keluarga sedarah, termasuk anak-anak, dan suami-istri yang hidup terlama. Jika tidak ada ahli waris dari keluarga sedarah atau suami-istri yang hidup terlama, maka harta peninggalan tersebut akan menjadi milik negara.

Namun demikian, negara hanya akan memiliki hak atas harta tersebut dalam rangka melunasi utang-utang pewaris sejauh nilai harta yang ditinggalkan. Artinya ketika hutang lebih dari harta yang ditinggalkan, maka pembagian dilakukan secara proporsional.

Berdasar ketentuan tersebut di atas pula, anak-anak, termasuk anak kandung dan anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya dalam akta kelahiran, diakui sebagai ahli waris yang memiliki hak untuk menerima bagian dari harta warisan orang tua mereka. Prinsip persamaan derajat dalam pembagian warisan dihormati, sehingga setiap anak berhak menerima bagian yang sama tanpa membedakan jenis kelamin atau status kelahiran mereka.

Dalam hukum waris menurut Burgerlijk Wetboek (BW), terdapat prinsip yang menyatakan bahwa “ketika seseorang meninggal dunia, secara seketika semua hak dan kewajibannya berpindah kepada seluruh ahli warisnya.” Hak-hak dan kewajiban tersebut mencakup bidang hukum kekayaan atau terbatas pada hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan nilai uang. Konsep tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 830 KUHPerdata, yang menetapkan bahwa pewarisan hanya terjadi sebagai akibat dari kematian. [2]

 

Anak sebagai Ahli Waris dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam, anak juga merupakan ahli waris dalam golongan pertama. Anak laki-laki dan perempuan berhak menerima harta warisan dari orang tuanya, namun dengan pembagian yang berbeda. Anak laki-laki berhak menerima dua kali bagian dari anak perempuan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 11:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”

Pembagian harta warisan kepada anak dalam hukum Islam didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan. Anak laki-laki berhak menerima bagian yang lebih besar karena dianggap sebagai penerus garis keturunan orang tua. Di samping itu, berdasar Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, terdapat penggolongan ahli waris.

 

Hukum Waris Bagian Untuk Anak

Terdapat bagian waris selain orang tua, duda atau janda, saudara seibu lain ayah, saudara sekandung atau seayah yaitu Anak, hal ini dapat disimak berikut:[3]

  1. Jika seorang pewaris memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, harta warisan dibagi di antara keduanya. Anak laki-laki menerima dua bagian, sementara anak perempuan mendapatkan satu bagian, atau dapat diungkapkan dalam bentuk pecahan, yaitu 2/3 untuk anak laki-laki dan 1/3 untuk anak perempuan.
  2. Jika jumlah anak lebih dari satu, termasuk anak laki-laki dan anak perempuan, pembagian untuk anak laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Pembagian ini diibaratkan seperti anak laki-laki setara dengan dua anak perempuan. Sebagai contoh, jika jumlah anak laki-laki adalah 2 dan jumlah anak perempuan adalah 4, maka pewaris dianggap memiliki 8 anak perempuan.
  3. Jika ada anak-anak lainnya dan ahli waris yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, seperti duda, janda, ayah, dan ibu, mereka mendapatkan bagian pertama sebelum anak-anak dibagikan harta. Setelah itu, sisa harta warisan dibagi di antara anak-anak, dengan anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari anak perempuan.
  4. Jika pewaris meninggalkan hanya anak-anak perempuan, dengan jumlah lebih dari satu, mereka menerima 2/3 bagian yang dibagi rata sesuai dengan jumlah anak perempuan tersebut.
  5. Jika pewaris hanya meninggalkan satu anak perempuan tanpa anak laki-laki, anak perempuan tersebut mendapatkan seperdua (1/2) bagian dari harta warisan.
  6. Jika pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, anak tersebut mewarisi seluruh sisa harta peninggalan setelah membagikan bagian yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an kepada ahli waris lainnya.
  7. Jika tidak ada ahli waris lain yang ditetapkan, anak laki-laki tersebut menerima seluruh harta warisan. Bagian untuk keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris) sama dengan bagian anak, dengan syarat bahwa tidak ada anak pewaris yang masih hidup dan keturunan berasal dari keturunan laki-laki tanpa diselingi oleh keturunan perempuan. Contohnya, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki.

 

Berikut adalah tabel perbandingan kedudukan anak sebagai ahli waris dalam hukum perdata dan hukum Islam:

NoAspekHukum PerdataHukum Islam
1Golongan Ahli WarisGolongan pertamaGolongan pertama
2Jenis Anak yang berhak menerima warisanAnak kandung, anak luar kawin yang diakui oleh ayahnyaAnak kandung, anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya
3Pembagian Harta WarisanPersamaan derajatAnak laki-laki berhak menerima dua kali bagian dari anak perempuan
4Dasar HukumPasal 832 KUHPerdataAl-Qur’an surat An-Nisa ayat 11

 

Penulis: Iqian A. Lanov, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD

 

[1] Dwi Putra Jaya, S.HI., M.HI, Hukum Kewarisan di Indonesia ( Penerbit Zara Abadi, 2020) hlm 6

[2] Ibid, hlm 65-76

[3] Dr. Abdillah Mustari,M.Ag, Hukum Kewarisan Islam (Penerbit Alauddin University Press,2013) hlm 47

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.