Alat Bukti Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara

Alat bukti dalam hukum acara tata usaha negara menjadi penting untuk diketahui. Meski hukum acara tata usaha negara tidak jauh berbeda dengan hukum acara perdata, namun nyatanya terdapat beberapa hal yang tidak sama dengan hukum acara perdata. Hierarki alat bukti menjadi salah satu hal yang membedakan hukum acara tata usaha negara dengan hukum acara perdata.

 

Dalam Hukum Acara Perdata, jika melihat pada pasal Pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 164 HIR, maka hierarki alat bukti dalam hukum acara perdata adalah:

  1. Tulisan;
  2. Saksi;
  3. Persangkaan;
  4. Pengakuan; dan
  5. Sumpah

Lalu jika timbul pertanyaan apakah kemudian ahli tidak menjadi bukti dalam hukum acara perdata, maka harus diperhatikan kembali Pasal 154 HIR yang menyatakan:

“apabila pengadilan berpendapat bahwa perkara dapat dijelaskan oleh seorang ahli, maka atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya hakim dapat mengangkat seorang saksi ahli”

Meski ketentuan tersebut menyatakan pengangkatan seorang saksi ahli dilakukan oleh hakim, namun nyatanya karena sifat hakim di dalam hukum acara perdata adalah pasif, saksi ahli diajukan oleh para pihak yang berperkara, tentunya dengan ijin hakim sebagai pemimpin persidangan.

 

Kembali kepada hukum acara tata usaha negara, alat bukti diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”), yang mengatur hierarki alat bukti sebagai berikut:

  1. Surat atau tulisan;
  2. Keterangan ahli;
  3. Keterangan saksi;
  4. Pengakuan para pihak; dan
  5. Pengetahuan hakim.

UU 5/1986 telah diubah 2 (dua) kali yaitu melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”).

 

Jika melihat alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha negara tersebut, terlihat jelas perbedaan antara alat bukti dalam hukum acara perdata dengan hukum acara tata usaha negara. Apabila hukum acara perdata tidak memasukkan secara eksplisit keterangan ahli sebagai alat bukti, hukum acara tata usaha negara justru memasukkan alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti kedua. Adapun alat bukti sumpah tidak dikenal dalam hukum acara tata usaha negara.

 

Selanjutnya, alat-alat bukti dalam hukum acara tata usaha negara tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam pasal-pasal selanjutnya. Pasal 101 UU 5/1986 menerangkan bukti surat atau tulisan sebagai:

  1. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
  2. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
  3. surat-surat lainnya yang bukan akta.

Adapun yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan seseorang yang diberikan di muka persidangan di bawah sumpah menurut pengalaman atau pengetahuan orang tersebut (Pasal 102 UU 5/1986).

 

Berbeda dengan keterangan ahli, keterangan saksi diberikan berdasarkan apa yang dialami, dilihat, dan didengar sendiri oleh saksi tersebut dan diterangkan di muka persidangan di bawah sumpah (Pasal 104 UU 5/1986). Orang yang dilarang menjadi saksi diatur dalam Pasal 88 UU 5/1986, yaitu:

  1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa;
  2. isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
  3. anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
  4. orang sakit ingatan

Orang yang tidak boleh menjadi saksi tersebut juga tidak dapat memberikan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam perkara yang bersangkutan.

 

Pengertian alat bukti pengakutan tidak dijelaskan secara rinci dalam UU PTUN, namun suatu pengakuan tidak dapat ditarik kembali. Alat bukti terakhir yang dijelaskan dalam UU PTUN adalah alat bukti pengetahuan hakim, yang memiliki pengertian sebagai hal yang diketahui dan diyakini oleh hakim. Ada kalanya dengan bukti pengetahuan hakim tersebut, para pihak tidak mengajukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar gugatan PTUN, namun ada kalanya pula terdapat pihak-pihak yang mengajukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar gugatan dikarenakan peraturan tersebut tergolong sebagai peraturan daerah yang tidak berlaku nasional. Perlu diingat pula bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang harus dibuktikan dan kepada siapa beban pembuktian tersebut dijatuhkan, sebab dalam peradilan tata usaha negara sendiri terdapat ketidakseimbangan para pihak dikarenakan pihak yang menggugat adalah orang/badan hukum sedangkan yang digugat adalah pemerintah yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.

 

Penulis: R. Putri J., S.H., M.H.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.