3 Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Suatu perkawinan yang telah dilakukan oleh pasangan suami dan istri dapat putus karena beberapa hal. Aturan mengenai putusnya ikatan perkawinan dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). KUHPer menjelaskan bahwa perkawinan dapat dikatakan bubar berdasarkan alasan tertentu. Pasal 199 KUHPer menjelaskan tentang alasan-alasan tersebut antara lain: kematian, tidak hadirnya suami atau istri dengan jangka waktu 10 tahun dan diketahui perkawinan baru suami atau istrinya, putusan Hakim setelah adanya pisah meja dan ranjang dari suami dan istri, dan perceraian berdasarkan ketentuan Pasal KUHper sebelumnya.[1]

Perkawinan yang sudah dilaksanakan dapat dibatalkan jika pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk melaksanakan ikatan perkawinan. Kepastian tentang pembatalan perkawinan diputuskan oleh Pengadilan dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri bagi perkawinan yang dilakukan secara non-muslim dan Pengadilan Agama bagi perkawinan yang dilakukan secara muslim

 

1.      Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Perkawinan

Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, menjelaskan bahwa adanya pembatalan perkawinan membuat perkawinan yang pernah dilakukan sebelumnya dianggap tidak pernah terjadi dan/atau  tidak pernah ada.[2] Dalam hal ini pula perkawinan dianggap batal apabila telah dikeluarkannya putusan pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama yang berwenang.

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) dan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) menyebutkan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, antara lain:

  1. Pihak keluarga yang berada pada garis lurus keturunan ke atas dan ke bawah dari suami atau istri
  2. Suami atau istri
  3. Pejabat berwenang yang mengawasi pelaksanaan perkawinan sesuai Undang-Undang
  4. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mengetahui terdapat cacat pada rukun dan syarat perkawinan baik berdasarkan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]

Dengan demikian, akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap status perkawinan dimaksud adalah menjadikan perkawinan dimaksud tidak pernah ada, sebab sifat putusan pembatalan perkawinan adalah berlaku surut.

 

2. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan terhadap anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Pasal 4 menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 5 “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”.

Adanya pembatalan perkawinan berdampak pada kehidupan selanjutnya, terutama perkawinan yang dibatalkan setelah adanya keturunan. Pasal 28 Ayat (2) UU Perkawinan mengatur, bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

  1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
  2. suami/istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
  3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam angka 1 dan 2 sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum putusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Lebih lanjut Pasal 75 KHI menjelaskan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

  1. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad
  2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
  3. Pihak ketiga selama memperoleh hak-hak dengan beri’tikad baik, sebelum putusan pembatalan perkawinan berkekuatan hukum tetap.[4]

Putusan pembatalan perkawinan tidak memutus hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Namun, tidak terdapat penjelasan secara rinci terkait ketentuan pembagian hak waris anak dari perkawinan yang dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Terkait keabsahan dokumen akta kelahiran dan lain-lainnya masih dapat digunakan dengan nama orang tua kandung sebagaimana nantinya menjadi wali nikah. Sehingga tidak diperlukan perubahan pada akta kelahiran, melainkan hanya dibutuhkan perubahan pada kartu keluarga dengan status orang tua yang sudah tidak dalam satu ikatan perkawinan.

 

3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan terhadap harta bersama

Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap harta benda menurut UU Perkawinan, hanya menekankan bahwa suami/istri berada dalam posisi seimbang dalam kehidupan rumah tangga. Pasal 35 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menjelaskan bahwa terdapat dua jenis harta perkawinan, yang pertama adalah harta bersama, yang kedua adalah harta bawaan. Harta bawaan masing-masing suami/istri yang berasal dari hibah/waris penguasaannya berada pada masing-masing suami/istri.

Pasal 37 UU Perkawinan menyatakan bahwa percampuran kekayaan yang dihasilkan oleh suami/istri selama perkawinan yang kemudian apabila terjadi perceraian atau pembatalan perkawinan, harta bersama dapat dibagi antara suami/istri sebagaimana hukum masing-masing. Sehingga adanya pembatalan perkawinan dan akibatnya terhadap harta bersama tetap dikembalikan kepada kesepakatan antara suami/istri dalam hal pembagian atau penguasaan atas harta bersama tersebut. Apabila tidak ada kesepakatan, maka harta yang semua merupakan harta bersama harus dibagi menjadi dua antara laki-laki dan perempuan.

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pembatalan perkawinan pada dasarnya hanya terjadi dan sah apabila telah terdapat putusan pengadilan atas pembatalan tersebut. Adapun keberlakukan pembatalan perkawinan tersebut adalah surut, sehingga akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap status perkawinan itu sendiri adalah perkawinan dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah mengikat. Namun demikian,  pembatalan perkawinan tidak berakibat surut terhadap anak, sehingga anak tetap diakui. Adapun untuk harta tetap kembali kepada kesepakatan para pihak.

 

Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Pasal 199 KUHPer dalam Tim Redaksi, Edisi Lengkap Terbaru KUHP, KUHAP, KUH Perdata, (Yogyakarta: Second Hope, 2014), 316

[2] Siska Lis Sulistiani, Hukum Perdata Islam Penerapan Hukum Keluarga dan Hukum Bisnis Islam di Indonesia, 47

[3] Pasal 73 Kompilasi Hukum islam dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

[4] Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam

 

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.