1 Hari Libur Untuk 6 Hari Kerja Dinyatakan Inkonstitusional Oleh MK? Ini Penjelasannya

1 Hari Libur Untuk 6 Hari Kerja Dalam Ketenagakerjaan

Sebagai tenaga kerja/pekerja/karyawan, tentu banyak memahami tentang hukum ketenagakerjaan. Bukan hanya untuk mengetahui hak-hak yang seharusnya diperoleh, melainkan juga untuk mempertahankan hak-hak yang sudah sepatutnya diperoleh.

Hukum Ketenagakerjaan sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut “UU 13/2003”) yang telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja dan telah diundangkan berdasar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (selanjutnya disebut “UU Cipta Kerja”) -UU 13/2003 dan UU Cipta Kerja bersama-sama disebut “UU Ketenagakerjaan”-. Perubahan terhadap UU 13/2003 dalam UU Cipta Kerja dapat dilihat pada Pasal 81. Terdapat cukup banyak perubahan yang tertuang dalam UU Cipta Kerja terhadap UU 13/2003.

Pasal 79 UU 13/2003 mengatur terkait waktu istirahat tenaga kerja, yaitu:

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh

(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;

c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan

d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Ketentuan tersebut kemudian diubah dalam UU Cipta Kerja menjadi:

(1) Pengusaha wajib memberi:

a. waktu istirahat; dan

b. cuti

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka waktu libur bagi pekerja paling sedikit adalah 1 (satu) hari untuk pekerja yang bekerja selama 6 (enam) hari. Tidak ada jumlah libur maksimal, sebab UU Ketenagakerjaan pada dasarnya bertujuan melindungi tenaga kerja yang pada faktanya dan secara ekonomi memiliki posisi yang lebih rendah daripada pemilik modal/pemberi kerja.

Jam kerja maksimal pun telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dimana untuk 6 (enam) hari kerja adalah 7 (tujuh) jam setiap harinya, sedangkan untuk 5 (lima) hari kerja adalah 8 (delapan) jam setiap harinya. Dengan demikian, maksimal jam kerja untuk setiap pekerja adalah 42 (empat puluh dua) jam dalam 1 (satu) minggu. Pekerja yang bekerja melebihi jam tersebut akan dianggap sebagai lembur kerja yang juga memiliki batasan waktu dan kompensasi.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang 6 Hari Kerja

Pada tanggal 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas perkara Register Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang menarik perhatian publik, terutama pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja baik tenaga kerja maupun pemberi kerja. Perubahan besar dalam dunia ketenagakerjaan harus dilakukan karena putusan tersebut.

Permohonan pengujian undang-undang tersebut diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, dkk. Permohonan diajukan terhadap UU Cipta Kerja yang mengubah sebagian dari UU 13/2003. Tidak hanya 1 pasal atau 1 pokok ketentuan yang diajukan permohonan, melainkan terdapat beberapa pasal yang diajukan permohonan pengujian, yaitu:

  1. Pengaturan Tenaga Kerja Asing;
  2. Pengaturan Tenaga Kerja Waktu Tertentu;
  3. Pengaturan Pekerja Alih Daya (Outsrourcing);
  4. Pengaturan Tentang Cuti dan Upah Cuti;
  5. Pengaturan Upah dan Upah Minimum;
  6. Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja;
  7. Pengaturan Uang Pesangon, Uang Penggantian Hak, dan Uang Penghargaan Masa Kerja;

Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:

Mengadili:

  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
  2. Menyatakan frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja”;
  3. Menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”;
  4. Menyatakan Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”;
  5. Menyatakan Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”;
  6. Menyatakan Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”;
  7. Menyatakan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa, “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”;
  8. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
  9. Menyatakan Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”;
  10. Menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20682 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”;
  11. Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”;
  12. Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”;
  13. Menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakantenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”;
  14. Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
  15. Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan”;
  16. Menyatakan Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas”, bertentangan dengan 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”;
  17. Menyatakan Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”;
  18. Menyatakan Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif”;
  19. Menyatakan frasa “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”, dalam Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”;
  20. Menyatakan frasa “pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”;
  21. Menyatakan frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya” dalam norma Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang”;
  22. Menyatakan frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “paling sedikit”;
  23. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;
  24. Menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 156 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) tidak dapat diterima;
  25. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Berdasarkan putusan tersebut, tidak hanya 1 pokok ketentuan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konsitusi, melainkan hampir seluruh permohonan Pemohon telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun untuk waktu kerja, yang dahulu ketentuan Pasal 79 UU Ketenagakerjaan menyatakan:

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”

Ditambah ketentuannya menjadi:

atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu

Adanya kata “atau” menjadikan ketentuan tersebut bersifat alternatif, sehingga pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja selama 5 (lima) hari harus memberikan hari libut kepada pekerja sebanyak 2 (dua) hari dalam 1 (satu) minggu. Dengan demikian, jika pemberi kerja mempekerjakan pekerja selama 6 (enam) hari dengan jam yang telah ditentukan, maka hari libur untuk pekerja tersebut tetap 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu, namun jika pemberi kerja mempekerjakan pekerja selama 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu dengan jam yang telah ditentukan, maka pekerja tersebut harus memperoleh hari libur selama 2 (dua) hari.

Adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap hari libur tersebut adalah sebagai berikut:

Bahwa para Pemohon juga mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang mengubah ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 karena tidak mengakomodasi hak pekerja/buruh yang bekerja pada pengusaha atau di perusahaan yang memberlakukan 5 (lima) hari kerja dalam sepekan dengan istirahat selama 2 (dua) hari, telah menimbulkan adanya diskriminasi pekerja/buruh. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu mengutip Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 yang menyatakan, “Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”. Setelah dilakukan perubahan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 dinyatakan, “istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”. Namun, dalam Pasal 22 PP 35/2021 sebagai amanat Pasal 79 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 mengatur lebih lanjut waktu istirahat tersebut dengan menyatakan, “Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh pada waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberi waktu istirahat mingguan kepada Pekerja/ Buruh meliputi: a. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”. Artinya, ketentuan mengenai istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu yang tidak lagi diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023, justru diatur dalam PP. Pengaturan demikian secara normatif jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, terlebih PP seharusnya dibentuk untuk melaksanakan UU sebagaimana mestinya sehingga tidak boleh memperluas norma. Namun, dengan mencermati aspek filosofis dan sosiologis bahwa istirahat mingguan merupakan bentuk pengakuan terhadap kebutuhan pekerja untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi pekerja/buruh. Sebab, pekerja bukan hanya individu yang mengabdikan seluruh waktunya untuk pekerjaan, tetapi juga memiliki kehidupan di luar pekerjaan yang memerlukan perhatian, seperti keluarga, pendidikan, kesehatan, dan waktu pribadi untuk bersantai. Dengan memberikan waktu istirahat dengan pilihan sesuai dengan kondisi perusahaan apakah perusahaan akan memilih waktu istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Adanya ketentuan alternatif yang bisa jadi selama ini sudah dijalankan oleh suatu perusahaan menjadi tidak ada pilihan karena sesungguhnya jumlah jam kerja setiap minggu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diterapkan dengan pola waktu istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Hal tersebut tergantung pada kebutuhan perusahaan dalam meningkatkan produktivitas perusahaan dengan tetap memperhatikan hak-hak pekerja/buruh. Dalam konteks ini, apabila terdapat perusahaan yang memberikan waktu istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu menjadi tidak memiliki kejelasan pengaturannya lagi dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 karena sudah dihilangkan namun diatur dalam Pasal 22 PP 35/2021. Oleh karena itu, untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, penting bagi Mahkamah menegaskan waktu istirahat sebagaimana yang didalilkan para Pemohon dengan menyatakan ketentuan norma Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”.

Dengan demikian 1 hari libur untuk 6 hari kerja tidak sepenuhnya salah jika memang perusahaan atau pemberi kerja memberlakukan ketentuan hari kerja selama 6 (enam) hari. Hanya saja, ketentuan tersebut dipertegas bahwa jika perusahaan atau pemberi kerja memberlakukan hari kerja selama 5 (lima) hari, maka hari libur bagi pekerja adalah 2 (dua) hari. Hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin bahwa Peraturan Pemerintah Nomro 35 Tahun 2021 tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

Baca juga:

Perbedaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan

Pasal-Pasal Ketenagakerjaan Dalam Perpu Cipta Kerja yang Berbeda Dengan UU Cipta Kerja

Bentuk-Bentuk Perjanjian Ketenagakerjaan

Pemagangan Dalam Hukum Ketenagakerjaan

Wajib Lapor Ketenagakerjaan

 

Tonton juga:

1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja|1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja|1 hari libur untuk 6 hari kerja|1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja|1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja| 1 hari libur untuk 6 hari kerja|

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.