Tentang Wasiat Dalam Hukum Islam
Secara umum, wasiat diatur dalam ketentuan Bab XIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) mengenai Surat Wasiat yang terdiri dari ketentuan Pasal 874 sampai dengan Pasal 1004. Pasal 875 KUHPer menyatakan bahwa :
“Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.”
Selain diatur dalam KUHPer, pengertian wasiat juga diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain. Berdasarkan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU Peradilan Agama) wasiat diartikan sebagai perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah pemberi tersebut meninggal dunia.
Dalam KUHPerdata, disebut sebagai surat wasiat yang berarti wasiat menurut KUHPer berupa surat atau dapat diartikan bahwa wasiat dilakukan secara tertulis, sedangkan dalam hukum Islam di Indonesia wasiat diatur dalam ketentuan Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang dalam Pasal 195 ayat (1) KHI menyatakan :
“Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.”
Berdasarkan hal tersebut, maka secara hukum Islam di Indonesia wasiat dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, dimana wasiat secara lisan dianggap sah apabila diucapkan dihadapan dua orang saksi. Sedangkan wasiat berdasarkan KUHPer hanya terbatas dalam wasiat yang dilakukan secara tertulis.
Syarat-syarat wasiat dibedakan menjadi syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif berdasarkan ketentuan dalam Pasal 897 KUHPer yaitu orang yang dapat memberikan wasiat adalah orang yang sekurang-kurangnya berumur 18 (delapan belas) tahun Sedangkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 194 KHI, yaitu bahwa orang yang dapat memberikan wasiat minimal berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Kemudian, syarat secara objektif berdasarkan ketentuan dalam KUHPer tidak ditentukan secara khusus berapa banyak bagian harta yang dapat dijadikan wasiat, hanya saja dalam ketentuan Pasal 913 sampai dengan Pasal 929 KUHPer mengatur mengenai seberapa banyak legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 913 KUHPer dan pemotongan hibah-hibah yang mengurangi legitieme portie. Sedangkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 195 ayat (2) KHI yaitu wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya sebagaimana ketentuan Pasal 201 KHI.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanApa Itu Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Pembagian Warisan Apabila Lebih Dari Satu Pernikahan Atau Lebih...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.