Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata. Terdapat beberapa hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu:

  • Hukum waris Adat;
  • Hukum waris Islam;
  • Hukum waris KUHPerdata.

Hukum waris Islam digunakan bagi masyarakat yang beragama Islam, sedangkan bagi masyarakat yang beragama lain menggunakan KUHPerdata. Adapun di beberapa tempat di Indonesia juga masih ada yang menggunakan Hukum Waris Adat yang berlaku di lingkungannya.

Hukum waris dalam KUHPerdata diatur bersamaan dengan hukum benda dan hak kebendaan pada buku ke II KUHPerdata, hal itu dikarenakan:

  1. Hukum waris dianggap sebagai suatu hak kebendaan atas orang yang telah meninggal (Pasal 528 KUHPerdata)
  2. Dalam Hukum waris adanya hak mewaris yang merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik (Pasal 584 KUHPerdata). Sedangkan cara-cara untuk memperoleh hak milik diatur dalam KUHperdata, maka dari itu hukum waris dimasukan ke dalam buku ke II KUHPerdata.

Pasal yang mengatur tentang waris terletak dalam Buku II KUHPerdata yang terdiri dari 300 pasal, dimulai dari Pasal 830 sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata. Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.[1] Sedangkan KUHPerdata sendiri tidak ada pasal tertentu yang memberikan pengertian tentang hukum kewarisan, hanya saja pada Pasal 830 menyatakan bahwa “perwarisan hanya berlangsung karena kematian”, maksud dari Pasal 830 KUHPerdata harta peninggalan baru terbuka untuk dapat diwarisi kalau pewaris sudah meninggal dunia, dan berdasarkan pasal 836 KUHPerdata ahli waris harus masih hidup saat harta warisan tersebut terbuka untuk diwarisi.

Dalam hukum waris perdata terdapat syarat Subjektif dan syarat Objektif. Unsur hukum waris perdata, yaitu:

(1) Pewaris (orang yang meninggal);

(2) Ahli Waris;

(3) Harta Warisan.

Ketiga unsur tersebut merupakan rukun waris. Jika salah satu dari rukun waris tersebut tidak ada, maka hubungan waris mewarisi tidak dibolehkan karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun waris.

Syarat utama dari adanya waris menurut KUHPerdata ialah adanya Pewaris atau orang yang telah meninggal dunia. Meninggalnya seseorang tersebut dinyatakan secara hukum oleh suatu akta kematian, yang kemudian dijadikan sebagai bukti di hadapan notaris atau pengadilan pada saat pembuatan akta waris. Syarat waris selanjutnya ialah harus adanya Ahli waris dan Harta warisan. Mengenai Ahli Waris dibedakan menjadi dua yaitu:

  1. Berdasarkan ketentuan undang-undang atau ab-intestato yang mana ahli waris telah diatur dalam undang-undang untuk mendapatkan bagian dari warisan karena adanya hubungan kekeluargaan atau hubungan darah dengan orang yang meninggal;
  2. Berdasarkan testament atau wasiat yang mana ahli waris ditunjuk atau ditetapkan dalam surat wasiat yang ditinggalkan.

Adapun yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Harta warisan tersebut berupa kekayaan keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada para ahli waris, sehingga harta warisan yang diperoleh oleh ahli waris ialah  setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris.

Berkaitan dengan ahli waris berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu ahli waris yang telah diatur dalam KUHPerdata, telah diatur hubungan kekeluargaan sampai derajat keberapa yang berhak menerima warisan.[2] Menurut Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata terdapat pembagian empat golongan ahli waris, yaitu:

  1. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. (Pasal 852 jo Pasal 852a KUHPerdata)
  2. Golongan kedua, meliputi orang tua dan saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris (Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata).
  3. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris (Pasal 853 KUHPerdata).
  4. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. (Pasal 861 jo Pasal 858 KUHPerdata)

Golongan pertama menghapuskan hak golongan selanjutnya, dan seterusnya. Jika keempat golongan ahli waris diatas tidak ada, maka harta warisan jatuh ke negara bukan sebagai ahli waris, tetapi sebagai pemilih harta warisan (Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata jo Pasal 520 KUHPerdata).

Meski telah diatur golongan yang memperoleh hak waris, namun orang-orang dari golongan yang berhak tersebut juga terdapat orang yang tidak berhak memperoleh harta waris karena beberapa hal. Menurut Pasal 838 KUH Perdata menerangkan bahwa ada empat kategori orang-orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, antara lain:

  1. Orang yang dengan putusan hakim telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. (Pasal 838 ayat 1 KUHPer).
  2. Orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. (Pasal 838 ayat 3 KUHPer).
  3. Orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. (Pasal 838 ayat 2 KUHPer).
  4. Orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris. Dengan dianggap tidak patut oleh undang-undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan. (Pasal 838 ayat 4 KUHPer).

Penetapan ahli waris dapat dilakukan dengan akta notaris, namun ada pula penetapan ahli waris tersebut dilakukan dengan penetapan pengadilan. Berbeda dengan hukum Islam, pembagian harta waris dalam KUHPerdata tidak memberlakukan pembagian-pembagian berdasar kedudukan dan perbedaan gender, sehingga semua ahli waris memiliki proporsional yang sama.

 

[1] Effendi Purangin, Hukum Waris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, tahun 1997, hal 3

[2] M. Nasrulloh Fachruddin, Penolakan Ahli Waris dalam Perspektif Hukum Islam dan KUHPerdata..hal. 39-40.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.