Waralaba

Berbagai macam kerjasama bisnis mulai bermunculan, salah satunya adalah kerjasama berupa waralaba. Kerja sama di bidang perdagangan dalam bentuk waralaba memiliki sistem dimana suatu system bisnis pemberi waralaba dioperasikan oleh penerima waralaba.  Secara definisi, istilah waralaba terdiri atas kata “wara” yang berarti lebih atau istimewa dan “laba” yang memiliki arti keuntungan. Jadi, menurut arti kata, waralaba dapat diartikan sebagai usaha yang memberikan untung lebih atau laba istimewa. Dunia bisnis Indonesia lebih mengenal dan senang menggunakan istilah aslinya yakni franchise daripada waralaba.[1] Franchise berasal dari bahasa Prancis, yaitu franchir yang mempunyai arti memberi kebebasan kepada para pihak. Pengertian franchise dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu aspek yuridis dan bisnis.

Franchise adalah pemilik dari sebuah merek dagang, nama, dagang, sebuah rahasia dagang, paten, atau produk (biasanya disebut “franchisor”) yang memberikan lisensi ke pihak lain (biasanya disebut “franchisee”) untuk menjual atau memberi pelayanan dari produk di bawah nama franchisor. Franchisee biasanya membayar semacam fee (royalty) kepada franchisor terhadap aktivitas yang mereka lakukan.[2] Dasar hukum mengenai pemberlakuan waralaba di Indonesia saat ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba (PP 42/2007). Pasal 1 Angka 1 PP 42/2007 menyebutkan bahwa:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”

Dari definisi yang dimuat dalam Pasal 1 Angka 1 PP 42/2007 tersebut, dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang terkandung ialah adanya suatu perikatan, adanya hak dan pemanfaatan atau penggunaan, adanya objek berupa hak atas kekayaan intelektual atau penemuan baru atau ciri khas usaha, adanya imbalan atau jasa, dan adanya persyaratan dan penjualan barang. Sementara itu dalam Pasal 3 PP 42/2007, menyebutkan bahwa waralaba harus memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha;
  2. Terbukti sudah memberikan keuntungan;
  3. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
  4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
  5. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
  6. Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Apabila perjanjian tersebut ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[3]

 

Dalam melakukan perjanjian waralaba, klausula perjanjian paling sedikit harus terdapat beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 5 PP 42/2007 sebagai berikut:

  1. Nama dan alamat para pihak;
  2. Jenis hak kekayaan intelektual;
  3. Kegiatan usaha;
  4. Hak dan kewajiban para pihak;
  5. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;
  6. Wilayah usaha;
  7. Jangka waktu perjanjian;
  8. Tata cara pembayaran imbalan;
  9. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
  10. Penyelesaian sengketa; dan
  11. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

Dilihat dari uraian tersebut di atas, pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal tersebut mengakibatkan waralaba cenderung bersifat eksklusif yang artinya seorang atau suatu pihak penerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berbeda dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperolehnya dari pemberi waralaba.[4]

 

Lebih lanjut, perjanjian waralaba dapat memuat klausula pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba lain. Penerima Waralaba yang diberi hak untuk menunjuk Penerima Waralaba lain, harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit 1 (satu) tempat usaha Waralaba.[5] Sifat perjanjian waralaba (agreement franchise) adalah perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal agreement). Memberi kemungkinan bagi Pemberi Waralaba tetap mempunyai hak atas nama dagang dan atau merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut. Selain itu, memberikan kemungkinan bagi Pemberi Waralaba mengendalikan sistem usaha yang dilinsensikannya. Hak, Kewajiban, dan tugas masing-masing pihak dapat diterima bagi pihak Penerima Waralaba.[6]

Sementara itu, ketentuan Pasal 7 PP 42/2007, menyatakan mengenai kewajiban pemberi waralaba yang harus memberikan prospektus penawaran waralaba, bahwa:

  1. Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran Waralaba kepada calon Penerima Waralaba pada saat melakukan penawaran.
  2. Prospektus penawaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit mengenai:
  • data identitas Pemberi Waralaba;
  • legalitas usaha Pemberi Waralaba;
  • sejarah kegiatan usahanya;
  • struktur organisasi Pemberi Waralaba;
  • laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;
  • jumlah tempat usaha;
  • daftar Penerima Waralaba; dan
  • hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.

Selain harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba, pemberi waralaba berkewajiban pula untuk memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PP 42/2007. Selain itu juga mengutamakan penggunaan barang dan atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP 42/2007.

Praktik waralaba di Indonesia telah banyak berkembang baik itu produk luar negeri maupun produk dalam negeri. Contoh produk luar negeri yang berkembang di Indonesia yakni Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonald’s, Pizza Hut, sampai ke fitness centre. Sedangkan untuk produk dalam negeri sendiri seperti Indomaret, Alfamart, Apotek K24, Esteh Indonesia dan lain-lain. Tidak jarang waralaba juga sampai mengakibatkan perang dagang antara sesama pemegang franchise. Dengan demikian, dilihat dari konsepnya, waralaba merupakan salah satu bentuk perjanjian yang pengaturannya diatur secara spesifik dalam perundang-undangan di Indonesia.

 

[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 560-561.

[2] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 58

[3] Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba

[4] Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 12.

[5] Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba

[6] Sri Redjeki Slamet, Waralaba (Franchise) Di Indonesia, Lex Jurnalica Volume 8 Nomor 2, April 2011

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.