Walikota Medan Perintahkan Tembak Mati Begal
Beberapa waktu lalu Walikota Medan Perintahkan Tembak Mati Begal yang marak di Kota Medan. Pernyataan Bobby Nasution tersebut menjadi sorotan karena pernyataannya yang memerintahkan aparat kepolisian unuk menindak tegas pelaku begal dengan tembak mati, sebab menurutnya aksi para begal di Kota Medan tersebut sudah banyak korbannya sehingga sangat meresahkan masyarakat. Namun demikian, pernyataannya tersebut menimbulkan banyak kecaman dan kritikan dari beberapa pihak, seperti organisasi dan pegiat HAM serta LBH Medan. Menurut pendapat dari Wakil Direktur LBH Medan, Muhammad Alinafiah Matondang, pernyataan Bobby yang meminta dan bahkan mengapresiasi penembakan mati terduga begal di luar jalur hukum seperti “menebarkan dan menyerukan aksi preman jalanan” dan dapat membentuk presepsi di masyarakat bahwa tindakan itu dapat dilakukan, sehingga bisa menimbulkan kerusuhan di masyarakat.[1]
Dalam rangka menegakkan hukum dan menciptakan keamanan dan ketertiban, terkadang aparat kepolisian harus menggunakan suatu tindakan yang dinamakan Tindakan Kepolisian. Agar tindakan tersebut terukur sesuai standar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka selanjutnya kepolisian mengeluarkan Peraturan Kapolri 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Perkapolri 1/2009). Peraturan ini menjadi pedoman bagi aparat kepolisian dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan kekuatan, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Peraturan tersebut menjelaskan situasi-situasi yang dapat dilakukan dan prinsip dasar penggunaan tembakan di tempat oleh kepolisian. Pasal 5 ayat (1) Perkapolri 1/2009 menjelaskan bahwa sebelum melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu 6 tahapan tindakan sebagai berikut:
- Tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan;
- Tahap 2 : perintah lisan;
- Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak
- Tahap 4 : kendali tangan kosong keras;
- Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar polri;
- Tahap 6 : kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Selanjutnya, penembakan dengan senjata api dapat dilakukan tanpa peringatan atau perintah lisan namun hanya dalam keadaan apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (3) Perkap 1/2009. Kemudian, Pasal 7 ayat (2) huruf d juga menyatakan penggunaan senjata api oleh aparat tersebut untuk mengantisipasi tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menjadi upaya yang paling terakhir dan sifatnya adalah untuk melumpuhkan bukan mematikan. Penggunaan kekuatan senjata api tersebut harus memperhatikan ketentuan, tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat, anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut, dan anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat (Pasal 8 ayat (1) Perkap 1/2009).
Apabila dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM), penembakan mati dalam kasus ini terhadap terduga pelaku kejahatan begal merupakan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) melanggar prinsip-prinsip HAM, seperti hak atas kehidupan, hak atas peradilan yang adil, dan hak untuk terbebas dari perlakuan tidak manusiawi. Menurut ICJR, pembunuhan di luar putusan pengadilan pada prinsipnya juga suatu bentuk pelanggaran serius terhadap hak-hak tersangka atau orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana yang dijamin secara sah oleh peraturan perundang-undangan. Sebab setiap pelaku kejahatan atau tersangka termasuk yang statusnya residivis pun memiliki hal untuk dapat diadili secara adil dan berimbang serta menyampaikan pembelaan atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya.[2]
Selain melanggar HAM, penembakan mati pada praktik hukum juga bertengangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 8/2009). Seperti yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) Perkapolri 8/2009 menjelaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan. Juga dalam melaksanakan penangkapan, Polisi wajib mempertimbangkan (Pasal 16 ayat (1) Perkapolri 8/2009):
- Keseimbangan antara tindakan yang dlakukan dengan bobot ancaman;
- Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang ditangkap; dan
- Tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka.
Sebab meskipun tersangka yang telah tertangkap itu, harus tetap diperlakukan sebagai orang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan (asas praduga tak bersalah). Polisi wajib menghargai prinsip penting dalam asas praduga tak bersalah dengan pemahaman bahwa penilaian bersalah atau tidak bersalah, hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang, melalui proses pengadilan yang dilakukan secara benar dan tersangka telah mendapatkan seluruh jaminan pembelaannya. Selanjutnya dalam Pasal 47 ayat (2) Perkapolri 8/2009 menerangkan bahwa senjata api bagi Polisi hanya boleh digunakan untuk:
- Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
- Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
- Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
- Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
- Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
- Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Dengan demikian tindakan kepolisian dalam penggunaan kekuatan senjata api harus memperhatikan situas-situasi tertentu, tindakan terukur yang harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi serta harus mengedepankan prinsip asas praduga tak bersalah. Sebab telah diatur secara jelas bahwa penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menjadi upaya yang paling terakhir (last resort). Sehingga tindakan kekuatan senjata api untuk menembak mati kepada terduga pelaku tindak kejahatan dalam hal ini pelaku begal yang dilakukan tanpa melalui proses peradilan yang adil merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan dan dapat berdampak pada individu yang belum terbukti bersalah dan termasuk ke dalam bentuk pelanggaran HAM.
Penulis: Adelya Hiqmatul M., S.H.
Editor: Mirna R., S.H., M.H., CCD. & Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.,
[1] BBC News Indonesia. Wali Kota Medan Bobby Nasution apresiasi polisi tembak mati begal, padahal Presiden Jokowi menyesalkan ‘Petrus’. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-66124456.
[2] ICJR. Walikota Medan Harus Hati-Hati Bicara Tembak Mati Pelaku Kejahatan. https://icjr.or.id/icjr-walikota-medan-harus-hati-hati-bicara-tembak-mati-pelaku-kejahatan/.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMacam-Macam Sita Dalam Sengketa Perdata
Permohonan Sita Dalam Sengketa Perdata
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.