Wakaf di Indonesia; Ketentuan-Ketentuan Hukum Wakaf dan Istilah

Wakaf di Indonesia

Pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut “KHI”) memuat beberapa aturan, salah satunya adalah tentang perwakafan atau wakaf di Indonesia. Menurut pasal 215 ayat 1 KHI, “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.

Menurut Rofiq, pengertian wakaf yang ada pada pasal 215 ayat 1 KHI memuat lima cakupan yaitu:

  1. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang, Pernyataan itu dapat dipahami bahwa harta benda yang akan diwakafkan adalah benar dan sepenuhnya milik satu orang atau lebih. Artinya suatu harta benda dapat diwakafkan walaupun dimiliki oleh satu orang atau lebih;
  2. Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai;
  3. Pada kalimat “Yang memisahkan dari sebagian dari benda miliknya” menunjukkan bahwa harta benda yang telah diwakafkan terlepas dari kepemilikannya;
  4. Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut, tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan dan tidak dapat dilakukan secara sementara atau berjangka;
  5. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.[1]

 

Pengaturan Wakaf Dalam KHI

Sedangkan sistematika peraturan wakaf di dalam KHI terbagi dalam beberapa Bab. Terdapat 15 pasal dalam KHI yang membahas terkait perwakafan, yaitu dimulai dari pasal 215 KHI sampai pasal 229 KHI, dengan rincian:

  1. BAB I yaitu ketentuan umum, terdiri dari masalah wakaf, pengertian wakaf, ikrar, benda wakaf, nadzir, pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW) dan pengangkatan serta pemberhentian nadzir tersebut oleh Menteri Agama RI;
  2. BAB II yaitu fungsi, unsur-unsur,  dan syarat-syarat wakaf. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian kesatu membahas dan mengatur tentang fungsi wakaf yaitu mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Bagian kedua yaitu tentang unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf baik syarat seorang waqi, benda wakaf, dan nadzir. Sedangkan bagian yang ketiga berisikan tentang masalah kewajiban dan hak-hak nadzir;
  3. BAB III yaitu tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf. Bab ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kesatu terkait tata cara perwakafan dimana tata cara dalam pelaksanaan wakaf dari harta milik diatur dalam ketentuan bagian ini. Kemudian bagian kedua memuat tentang pendaftaran benda wakaf, dimana dalam bagian tersebut dijelaskan mengenai penentuan tempat pendaftaran benda wakaf dan penunjukkan petugas wakaf;
  4. BAB IV yaitu perubahan, penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf. Pada bab ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kesatu tentang perubahan benda wakaf. Inti dari bagian ini adalah aturan-aturan kapan dibenarkan harta wakaf itu dapat dilakukan perubahan. Bagian kedua tentang penyelesaian perselisihan benda wakaf yaitu terkait petunjuk penyelesaian perselisihan perwakafan. Kemudian bagian ketiga adalah pengawasan, di dalamnya berintikan tentang tanggung jawab nadzir bersama kepala Kantor Urusan Agama dan majelis ulama setempat dalam hal pengawasan harta wakaf;
  5. BAB V yaitu ketentuan peralihan. Bahwa peralihan wakaf harus dilaporkan dan didaftarkan kepada KUA kecamatan setempat;
  6. Ketentuan Penutup, berisi terkait tata cara hakim dalam mengenai masalah kasus yang terjadi dalam perwakafan.

 

Syarat Wakaf dan Pengertian Istilah-istilah Wakaf

Adapun rukun wakaf dan syarat wakaf yaitu sebagai berikut:[2]

1. Pihak yang mewakafkan (waqif)

Pihak yang mewakafkan disyaratkan haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menyumbangkan harta, dengan kualifikasi baligh, berakal, dan berkehendak sendiri (tanpa paksaan). Adapun yang dimaksudkan dengan syariat ini adalah orang yang memberikan wakaf mempunyai kuasa untuk membersumbangan ketika masih hidup.

2. Harta yang diwakafkan (mauquf)

Syarat harta yang dapat diwakafkan ialah;

  1. Harta yang diwakafkan tidak rusak dan habis ketika diambil manfaatnya;
  2. Harus jelas wujud dan batasannya;
  3. Harta wakaf haruslah benar-benar hak milik wakif;
  4. Harta yang diwakafkan dapat berupa benda tetap maupun bergerak

3. Yang menerima wakaf (mauquf’alaih)

Tujuan wakaf harus jelas, seperti:

  1. Untuk kepentingan umum, seperti masjid;
  2. Untuk menolong fakir miskin

4. Shighat/akad

Shighat hendaknya diucapkan dengan ucapan yang menunjukkan maksud dari akad dari seorang yang mampu berbicara karena kepemilikan dalam akad wakaf tergantung kepada proses perpindahannya untuk orang yang menerima wakaf melalui ucapan qabul. Para ahli fiqh menetapkan syarat-syarat shighat sebagai berikut:

  1. Shigat harus mengandung pernyataan bahwa wakaf itu bersifat kekal;
  2. Shigat harus mengandung kepastian;
  3. Shigat tidak boleh dibarengi dengan syarat yang membatalkan;
  4. Shigat harus mengandung arti yang tegas dan tunai, tidak boleh terkait syarat tertentu.[3]

 

Mekanisme Pelaksanaan Wakaf Menurut KHI

Dalam KHI dikenal adanya istilah Nadzir yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.[4] Sebagaimana Pasal 219 KHI, persyaratan seseorang dapat menjadi nadzir antara lain:

  1. Warga negara Indonesia;
  2. Islam;
  3. Sudah dewasa;
  4. Sehat jasmani dan rohani;
  5. Tidak berada di bawah pengampuan;
  6. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.

Selain itu Pasal 215 Angka 6 KHI menyebutkan “Pejabat Pembuat Akta Ikrara Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan”. Sedangkan terkait tata cara perwakafan dan pendaftarannya diatur dalam Pasal 223 KHI:

  1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuatnya Akta Ikrar Wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf;
  2. Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama;
  3. Pelaksanaan ikrar, pembuatan akta ikrar wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi;
  4. Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud Ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat yang disebut dalam Pasal 215 Ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
  1. Tanda bukti pemilikan harta benda;
  2. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
  3. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.

 

Penulis: Hasna M. Asshofri, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] M. Yusuf Said, “Perubahan Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Pendidikan dan Konseling, 2, (Desember,2016), 62

[2] Abdul Ghafur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia. (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), 26.

[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),496.

[4] Pasal 215 Angka 5 Kompilasi Hukum Islam

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.