Upaya Hukum Banding Atas Putusan Pidana

Banding merupakan salah satu bentuk upaya hukum. Definisi upaya hukum menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Menurut R Atang Ranoe Mihardja, upaya hukum merupakan suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan hakim yang dianggapnya kurang adil atau kurang tepat.[1] Secara umum di semua proses peradilan, upaya hukum banding diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara pesifik upaya hukum banding dalam hukum pidana, Pasal 67 KUHAP menjelaskan secara implisit bahwa banding merupakan upaya hukum terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Hal serupa dinyatakan oleh J.T.C Simorangkir, bahwa pemeriksaan banding merupakan alat hukum (rechtsniddel) yang menjadi hak terdakwa atau penuntut umum, untuk memohon supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi. Tujuan Banding adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama.[2]

Mengenai tata cara upaya hukum banding dalam hukum pidana diatur dalam Pasal 233 KUHAP. Garis besar langkah yang ditempuh dalam pengajuan banding berdasarkan pasal tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Banding dapat diajukan oleh terdakwa, kuasa hukum terdakwa, atau penuntut umum.
  2. Ajuan banding diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir.
  3. Setelah penerimaan, panitera membuat surat keterangan yang ditandatanganinya dan pemohon banding, kemudian dibuat tembusan kepada pemohon banding.
  4. Apabila pemohon banding tidak dapat menghadap, maka alasan ketidakmampuan menghadap dicatat oleh panitera yang harus dilampirkan dalam berkas perkara serta ditulis dalam daftar berkas perkara pidana.
  5. Permintaan banding yang diterima oleh pengadilan, wajib diberitahukan kepada kedua belah pihak yang berperkara.

Ketentuan tersebut, lebih dispesifikkan di dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus terkait prosedur banding sebagai berikut.[3]

  1. Membuat :
  2. Akta permohonan pikir-pikir bagi terdakwa.
  3. Akta pernyataan banding.
  4. Akta terlambat mengajukan pernyataan banding.
  5. Akta Pencabutan banding.
  6. Permintaan banding yang diajukan, dicatat dalam register induk perkara pidana dan register banding masing-masing petugas register.
  7. Permintaan banding diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan.
  8. Permintaan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permintaan banding telah lewat tanggang waktu dan harus dilampirkan dalam berkas perkara.
  9. Dalam hal pemohon tidak datang menghadap, hal ini dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara.
  10. Panitera wajib memberitahukan permintaan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
  11. Tanggal penerimaan memori, kontra memori banding dicatat dalam register dan salinan memori serta kontra memori disampaikan kepada pihak yang lain dengan relaas pemberitahuan. Memori banding merupakan permohonan pemeriksaan Kembali kepada pengadilan yang lebih tinggi dengan menyertakan alasan permohonan. Hal yang harus jelas diuraikan dalam memori banding adalah sebagai berikut.[4]
    1. Putusan yang dimintakan banding
    2. Nama pengadilan yang memutus sebelumnya
    3. Isi putusan yang diajukan banding
    4. Penanganan hak banding sesuai peraturan perundang-undangan
    5. Alasan pertimbangan pengajuan yang rinciannya terdiri atas:
      • Perihal
      • Kepada siapa permohonan itu ditujukan
      • Identitas terdakwa atau pemohon banding
      • Isi keputusan yang dijadikan alasan permohonan banding
      • Ringkasan surat dakwaan
      • Alasan-alasan permohonannya.
    6. Dalam hal pemohon belum mengajukan memori banding sedangkan berkas perkara telah dikirim ke pengadilan tinggi, pemohon dapat mengajukannya langsung ke Pengadilan Tinggi, sedangkan salinannya disampaikan ke pengadilan negeri untuk disampaikan kepada pihak lain.
    7. Selama 7 hari sebelum pengiriman berkas kepada pengadilan tinggi, pemohon wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan negeri.
    8. Jika kesempatan mempelajari berkas diminta oleh pemohon dilakukan di Pengadilan Tinggi, maka pemohon harus mengajukan secara tegas dan tertulis kepada ketua pengadilan negeri.
    9. Berkas perkara banding bundel A dan bundel B dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak permintaan banding diajukan sesuai ketentuan pasal 236 ayat 1 KUHAP, harus sudah dikirim ke pengadilan tinggi.
    10. Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, untuk itu panitera membuat akta pencabutan banding yang ditanda tangani oleh panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh ketua pengadilan negeri. Akta tersebut dikirim ke pengadilan tinggi.
    11. Salinan putusan pengadilan tinggi yang telah diterima oleh pengadilan negeri, harus diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum dengan membuat rilis pemberitahuan putusan.
    12. Petugas register harus mencatat semua kegiatan yang berkenan dengan perkara banding dan pelaksanaan putusan ke dalam buku register terkait.
    13. Pelaksanaan tugas pada meja kedua, dilakukan oleh panitera muda pidana dan berada langsung dibawah koordinasi wakil panitera.

Upaya hukum biasa dalam hal ini adalah banding dilakukan oleh pengadilan tinggi, untuk memeriksa kembali fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara. Oleh sebab itu baik pengadilan negeri dan pengadilan tinggi mempunyai concern yang sama, yakni sebagai judex factie yang berkedudukan sebagai hak, tentunya bersifat opsional terhadap pihak yang berperkara. Tentunya apabila upaya banding ini tidak dilakukan, maka kedua belah pihak yang berperkara dianggap menerima putusan pengadilan di tingkat pertama. Oleh sebab itu putusan pengadilan pada tingkat pertama telah berkekuatan hukum tetap (incracht).

Dengan demikian, dapat diketahui dalam hal pengajuan upaya banding dalam hukum pidana selain harus memperhatikan prosedur yang berlaku dalam Pedoman Teknis Administrasi Mahkamah Agung, yang perlu diketahui juga ialah terkait dengan kewenangan pengadilan tinggi yang hanya memeriksa kembali fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara yang sebelumnya telah diperiksa oleh pengadilan negeri atau tingkat pertama.

[1] Andi Sofyan dan Abdul Asis, (2015), Hukum Acara Pidana Cetakan ke-13, Jakarta:Kencana, hlm. 266.

[2] Ibid., hlm. 270.

[3] Mahkamah Agung, (2007), Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus: Buku II, Jakarta: Mahkamah Agung, hlm 3-5.

[4] Sugianto, (2018), Hukum Acara Pidana Dalam Praktik Peradilan di Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Deepublish, hlm. 117.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.