Tugas Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang pembentukannya diamanatkan langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus Tahun 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari lembaga kekuasaan kehakiman sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan sebagai berikut :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan  peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan  peradilan  umum, lingkungan peradilan  agama, lingkungan  peradilan militer, lingkungan  peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Kemudian secara garis besar, aturan tentang kelembagaan Mahkamah Konstitusi diatur dalam ketentuan Pasal 24C UUD NRI 1945 yang menyatakan sebagai berikut :

    1. Mahkamah Konstitusi  berwenang mengadili  pada tingkat  pertama dan  terakhir yang putusannya bersifat  final untuk  menguji undang­-undang terhadap Undang­-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga  negara yang kewenangannya diberikan  oleh  Undang­-Undang Dasar,  memutus pembubaran  partai  politik, dan  memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum.
    2. Mahkamah Konstitusi  wajib memberikan  putusan  atas pendapat  Dewan  Perwakilan Rakyat  mengenai  dugaan pelanggaran oleh Presiden  dan/atau  Wakil Presiden menurut Undang-­Undang Dasar. 
    3. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi  yang ditetapkan  oleh  Presiden, yang diajukan masing­-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga  orang oleh Presiden. 
    4. Ketua dan Wakil  Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih  dari dan  oleh  hakim  konstitusi.
    5. Hakim konstitusi  harus memiliki  integritas dan  kepribadian yang tidak  tercela, adil, negarawan  yang menguasai  konstitusi dan  ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
    6. Pengangkatan dan pemberhentian  hakim konstitusi, hukum acara serta  ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi  diatur dengan undang­ undang.

Ketentuan lebih lanjut tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan dalam undang-undang sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
  2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dijadikan undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang;
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi).

diantaranya akan kami uraikan sebagai berikut.

A. Menguji undang­-undang terhadap UUD NRI 1945

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dinyatakan langsung dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yang kemudian juga diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dilakukan melalui permohonan oleh pihak yang dirugikan kewenangan konstitusionalnya atas ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagaimana ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya yaitu :

    1. perorangan warga negara Indonesia;
    2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
    3. badan hukum publik atau privat; atau
    4. lembaga negara.

Dalam hal permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945, pemohon wajib menguraikan dengan jelas hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasak 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu:

    1. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
    2. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 tidak diperbolehkan menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 50A UU Mahkamah Konstitusi.

B. Memutus sengketa kewenangan lembaga  negara yang kewenangannya diberikan  oleh  UUD NRI 1945

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945 juga dinyatakan langsung dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yang kemudian juga diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf bUU Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945 hanya dapat dilakukan oleh pemohon yang memiliki legal standing sebagaimana ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Pemohon dalam permohonannya wajib menguraikan dengan jelas tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon sebagaimana ketentuan dalam Pasal 61 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi. Apabila permohonan tidak memenuhi syarat sebagaiman ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU Mahkamah Konstitusi, maka dalam amar putusan permohonan dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana ketentuan dalam Pasal 64 UU Mahkamah Konstitusi.

C. Memutus pembubaran  partai  politik

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus pembubaran partai politik juga dinyatakan langsung dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yang kemudian juga diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Mahkamah Konstitusi. Pemohon yang berhak melakukan permohonan pembubaran partai politik adalah pemerintah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 68 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi. Pemohon dalam hal ini wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 68 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi.

D. Memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum juga dinyatakan langsung dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yang kemudian juga diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dilakukan melalui permohonan oleh pemohon yang memiliki legal standing sebagaimana ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya :

    1. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
    2. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
    3. partai politik peserta pemilihan umum.

Pasal 74 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:

    1. terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
    2. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
    3. perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.

Batas waktu pengajuan permohonan yaitu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional sebagaimana ketentuan dalam Pasal 74 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonannya, pemohon wajib menguraikan hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 75 UU Mahkamah Konstitusi, yaitu :

    1. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
    2. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.

 E. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum

Selain kewenangan yang diberikan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan dalam hal memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat  Dewan  Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau  Wakil  Presiden  telah  melakukan  pelanggaran  hukum berupa pengkhianatan  terhadap  negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan  tercela;  dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil  Presiden  tidak  lagi  memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7B UUD NRI 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi. Pemohon yang memiliki legal standing dalam hal ini, yaitu DPR sebagaimana ketentuan dalam Pasal 80 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannta mengenai dugaan sebagaiman ketentuan dalam Pasal 80 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu :

    1. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
    2. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dan menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR pelanggaran  hukum berupa pengkhianatan  terhadap  negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan  tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 80 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UU Mahkamah Konstitusi, diantaranya :

Pasal 12

Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.

Pasal 13

    1. Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai:
      1. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
      2. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
    2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 14

Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.