Trias Politica Checks and Balances

Suatu negara dapat dikatakan berjalan dengan baik, apabila di suatu negara tersebut terdapat suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah, yang mana di dalamnya terdapat suatu pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat, serta diberikan kekuasaan yang sah untuk mengatur para warga negaranya.[1] Kekuasaan yang sah, artinya bahwa pemerintah yang berdaulat, adalah merupakan representasi dari seluruh warga negara dan menjalankan kekuasaan atas kehendak warga negara. Dalam hal ini pemerintah menjalankan kekuasaan atas kehendak warga negara, artinya bahwa berdasarkan konsensus yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), telah disepakati bahwa rakyat memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memerintah, mewakili dan mengurus urusan pemerintahan.

Sementara itu pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lain termasuk legislatif dan yudikatif.[2] Sehingga dalam pemerintahan itu sendiri, terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan yang sering dikenal dengan istilah “Trias Politica”. Konsep Trias Politica ini dikembangkan oleh 2 (dua) pemikir besar dari Inggris dan Perancis yaitu John Locke dan Montesqueiu. Menurut Locke konsep Trias Politica yang dikembangkan yaitu memisahkan kekuasaan menjadi 3 (tiga), yakni:

  1. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat peraturan dan undang-undang.
  2. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk melaksanakan undang-undang yang ada di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili.
  3. Kekuasaan federatif, tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).[3]

Sementara itu pemisahan kekuasaan menurut Montesqueiu walaupun sama-sama memiliki konsep tiga bagian akan tetapi memiliki perbedaan konsep yaitu:

  1. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat undang-undang.
  2. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk menyelenggarakan undang-undang (tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri).
  3. Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Dari pendapat kedua tokoh penggagas teori Trias Politica di atas menyebutkan sama-sama memisahkan menjadi tiga kewenangan akan tetapi terdapat perbedaan di antaranya menurut pandangan John Locke menggunakan konsep federatif dengan memasukkan peran yudikatif ke dalam eksekutif, sedangkan menurut Montesqueiu menggunakan konsep Yudikatif itu berdiri sendiri. Karena berdiri sendiri sehingga fungsi dan alat kelengkapan dari ketiga kekuasaan tersebut harus terpisah. Oleh karena itu, ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan artinya ketiga kekuasaan itu masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang menanganinya.[4]

Konsep Trias Politica, berasal dari bahasa Yunani yang artinya Politik Tiga Serangkai, dalam artian tiap pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol.

Trias Politica Strict dan Trias Politica Checks and Balances

Dalam negara-negara abad 20, khususnya di negara berkembang trias politika dalam arti pemisahan kekuasaan tidak dapat dipertahankan lagi. Tetapi trias politika lebih dari sebagai pembagian kekuasaan. Artinya hanya fungsi-fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan ke badan yang berbeda. Namun selebihnya kerjasama antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi atau dalam hal ini pemerintahan. Dalam perkembangannya, terdapat 2 (dua) jenis Trias Politica yakni sebagai berikut:

  1. Trias Politica Strict, yaitu pembagian dan pemisahan kekuasaan secara ketat atau kaku. Menurut Carl Scmitt, dalam pemisahan kekuasaan diterapkan dalam satu isolasi yang komplit. Artinya adalah Ekesekutif tidak memiliki hak inisiatif dalam pembentukan undang-undang, Eksekutif tidak mempunyai hak veto atas pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan legislatif dan hak lainnya yang terbatas.[5] Negara yang menganut teori ini ialah Thailand yang menganut trias politika, dengan sistem pemerintahan Parlementer Konstitusional. Dapat dilihat dari Kepala Negara yang dipimpin oleh Kerajaan dan Perdana Menteri sebagai Kepala Administratif Pemerintahan. Raja sebagai Kepala Negara melaksanakan kekuasaan legislatifnya melalui parlemen.
  2. Trias Politica Checks and Balances, yaitu prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi.[6] Negara yang menganut sistem checks and balances, seperti Amerika contohnya kekuasaan perundang-undangan, diletakkan kepada Kongres, tetapi Presiden boleh memveto suatu rancangan undang-undang jika ia tidak berkenan. Namun, veto boleh dikesampingkan asal tidak disetujui oleh dua pertiga (mayoritas) anggota lembaga perwakilan (Kongres). Konstitusi juga secara mutlak memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan perundang-undangan, atau tindakan eksekutif, di luar dari kekuasaan–kekuasaan tersebut diserahkan kepada Kongres atau Presiden.

Selain itu, Indonesia sendiri juga menganut trias politica dengan penerapan prinsip check and balance. Hal ini jelas dari pembagian yang terdapat dalam UUD NRI 1945 yang telah membagi kekuasaan pemerintahan menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.[7] Namun, dalam perkembangannya UUD NRI 1945 hasil amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 7 (tujuh) lembaga negara. Pertama, kekuasaan eksaminatif (inspektif), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, kekuasaan legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga, kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Keempat, kekuasaan kehakiman (yudikatif), meliputi Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kelima, lembaga negara bantu, yaitu Komisi Yudisial.

 

[1] Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, 2010, hlm. 78

[2] Moh. Kusnardi, dkk, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1983, hlm. 171

[3] Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2006, hlm. 150

[4] Harmailly Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, CV. Sinar Bhakti, 1988, Jakarta, hlm. 140

[5] Carl Scmitt, Constitutional Theory,Translated and edited by Jeffrey SeitzerDuke university Press, Durham and London, 2008, h. 59.

[6] Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm 61

[7] [7] Miriam Budiarjo, Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.