Traktat Sebagai Sumber Hukum
Sumber hukum dibedakan antara sumber hukum dalam arti formal dan sumber hukum dalam arti materiil. Sumber hukum formal bersifat operasional yang berhubungan langsung dengan penerapan hukum. Sementara itu, sumber hukum materiil adalah berasal dari substansi hukum. Sebelumnya sudah kami bahas dalam artikel terkait yang berjudul Sumber Hukum dalam Arti Formal dan Materiel.
Salah satu sumber hukum adalah traktat yang menyebabkan negara-negara harus mengikuti dan mematuhi aturan-aturan tersebut, karena aturan ini tersedia dalam suatu perjanjian internasional yang dibuat negara-negara yang mengikatkan dirinya pada perjanjian (treaty—law). Negara yang menjadi peserta dalam suatu perjanjian internasional yang dibuat berdasarkan hukum perjanjian internasional harus tunduk pada kesepakatan/perjanjian tersebut(pacta sund servanda). Memang tidak terdapat aturan yang menyatakan bahwa prinsip tersebut dikatakan sebagai prinsip yang tertinggi dalam hubungan antar negara yang terikat dengan perjanjian internasional, tetapi Pasal 38 Ayat (1) Statuta ICJ (Statute of the International Court of Justice) menyatakan bahwa suatu sengketa harus didasarkan pada hukum internasional, yakni menerapkan treaty dan kebiasaan internasional yang telah ada. Ketentuan tersebut merupakan pengakuan terhadap traktat sebagai sumber hukum formal.
Berlakunya hukum internasional dalam peradilan nasional suatu negara mengacu pada doktrin “Inkorporasi” dan doktrin “Transformasi“. Menurut doktrin Inkorporasi, hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Apabila suatu negara menandatangani dan meratifikasi traktat atau perjanjian apapun dengan negara lain, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap warga Negaranya tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu. Contoh negara yang menerapkan doktrin ini adalah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan beberapa negara dengan system Anglo-Saxon. Doktrin transformasi menyatakan sebaliknya, bahwa tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukan proses tranformasi berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Sehingga traktat atau perjanjian internasional, tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum di pengadilan nasional sebelum dilakukannya `transformasi’ ke dalam hukum nasional.[1]Contoh negara yang menerapkan teori ini diantaranya adalah negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960, pemerintah mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[2]
Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau peraturan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam praktiknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional. Oleh karena itu, terbitlah Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional (“UU Perjanjian Internasional”). Secara umum pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:
- Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
- Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
- Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian intemasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut; dan
- perjanjian-perjanjian intemasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri. Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau Peraturan Presiden. Tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa pengesahan Perjanjian Internasional berkaitan dengan :
“Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR dan dilakukan apabila berkenaan dengan masalah:
- politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara;
- perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara;
- kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
- hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
- pembentukan kaidah hukum baru;
- pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”
Sedangkan, Pengesahan dengan Peraturan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari Pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalamUU Perjanjian Internasional. Dengan pengaturan seperti ini, maka dapatlah Indonesia dikatakan sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU Perjanjian Internasional, dinyatakan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” Undang-undang atau Keputusan Presiden tersebut disebut juga “Ratifikasi”.
Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur proses ratifikasi perjanjian internasional yang tidak serta merta menjadi hukum nasional Indonesia, melainkan hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk memberlakukan perjanjian internasional tersebut perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi. Tercantum dalam Pasal 12 UU Perjanjian Internasional
- “Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga l\negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.
- Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan dan/atau materi permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya dilakukan bersamaan dengan pihak-pihak terkait.
- Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.”
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 11 UU Perjanjian Internasional
- “Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.
- Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internaisonal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.”
Perjanjian internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian / nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak. Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerja sama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerja sama antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
Oleh sebab itu Sumber hukum merupakan persoalan yang sangat penting untuk setiap bagian dari hukum manapun, baik hukum nasional dan hukum internasional. Dalam penyelesaian sengketa atau persoalan-persoalan hukum, maka sumber hukum menjadi tempat ditemukannya ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar atau pedoman dalam menyelesaiakan persoalan tersebut. Berlakunya hukum internasional (dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional) atau hukum kebiasaan internasional di Indonesia didasarkan pada keterikatan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dan berlakunya prinsip pacta sunt servanda. Apabila perjanjian internasional (bilateral dan multilateral) telah disahkan dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu, hukum internasional berlaku dan menjadi hukum nasional, sehingga dapat dijadikan tuntunan / pedoman dalam penyelesaian sengketa atau persoalan hukum di peradilan nasional.
[1]KusumaatmadjaMochtar, Pengantar Hukum Internasional,Binacipta, Bandung, 1989. Malcol N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997 Malcolm D.Evans, International Law , New Yotk, Oxford University Press, 2003, Hlm : 147
[2] Dina Sunyowati, Ennynarwati, Lina Hastuti, Hukum Internasional, Buku Ajar, Airlangga University Press, Surabaya, 2011, Hlm : 45
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKonser NCT Dibubarkan, Bagaimana Hak Penonton Sebagai Konsumen?
Perbankan Syariah
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.