Tindak Pidana Terorisme

Pada tanggal 12 Oktober 2002, Indonesia dihebohkan dengan adanya kasus Bom Bali I di mana Indonesia belum memiliki pengalaman terhadap perkara terorisme termasuk peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai tindak pidana terorisme. Setelah kejadian tersebut, disusunlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Pada perkembangannya, peraturan tersebut diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (selanjutnya Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan perubahannya disebut dengan ‘UU Terorisme’). Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut ‘KUHP 2023’) mencabut sebagian ketentuan dalam UU Terorisme yaitu pada Bagian Kedua BAB XXXV KUHP 2023.

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan (Pasal 1 Angka 2 UU Terorisme). Tindak pidana terorisme pada UU Terorisme diatur pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 UU Terorisme. Di samping itu terdapat ketentuan mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme yaitu diatur pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 24 UU Terorisme. Ketentuan pokok tindak pidana perdagangan orang dapat dilihat pada Pasal 6 dan 7 UU Terorisme yang mana nantinya sudah tidak berlaku pada saat KUHP 2023 telah berlaku. Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 UU Terorisme dibandingkan dengan perubahannya di KUHP 2023 adalah sebagai berikut:

 

UU TerorismeKUHP 2023
Pasal 6

Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

Pasal 600

Setiap Orang yang menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan Korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengalibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

Pasal 7

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Pasal 601

Setiap Orang yang menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan Korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau pidana penjara seumur hidup.

 

Unsur-unsur dari tindak pidana terorisme orang berdasarkan Pasal 6 UU Terorisme yaitu:

  1. Setiap orang

Yang dimaksud setiap orang disini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 Angka 9 UU Terorisme).

  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal

Ini adalah unsur tujuan artinya perbuatan terorisme dilakukan dengan adanya kesengajaan, namun tujuan tersebut tidak harus tercapai, melainkan sudah ada niat saja maka telah masuk ke dalam unsur ini.

  1. dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain

Cara menimbulkan suasana teror dilakukan dengan merampas kemerdekaan, hilangnya nyawa atau harta benda orang lain.

  1. Atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional

Dalam hal ini artinya telah terjadi kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Pada Pasal 600 KUHP 2023, unsur ‘dengan sengaja’ dihilangkan.

Unsur-unsur dari tindak pidana terorisme orang berdasarkan Pasal 7 UU Terorisme yaitu:

  1. Setiap orang

Yang dimaksud setiap orang disini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 Angka 9 UU Terorisme).

  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal

Ini adalah unsur tujuan artinya perbuatan terorisme dilakukan dengan adanya kesengajaan.

  1. Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain

Cara menimbulkan suasana teror dilakukan dengan merampas kemerdekaan, hilangnya nyawa atau harta benda orang lain.

  1. Atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional

Dalam hal ini karena tidak harus tercapai tujuannya, yang harus dibuktikan adalah adanya niat untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional

Pada Pasal 601 KUHP 2023, unsur ‘dengan sengaja’ dihilangkan dan terdapat minimum hukuman pidana penjaranya. Pasal 6 dan 7 UU Terorisme serta 600 dan 601 KUHP 2023 merupakan delik materil, yaitu ditekankan pada adanya akibat yang dilarang misalkan hilangnya nyawa atau kerusakan fasilitas umum. Perbedaannya dengan pembunuhan biasa adalah rasa teror yang timbul karena perbuatan terorisme dan korban yang bersifat massal.

Terkait dengan proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk perkara tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU Terorisme (Pasal 25 Ayat (1) UU Terorisme). Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU Terorisme, penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme didasarkan pada bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling Lama 14 (empat belas) hari dan dapat dimohonkan perpanjangan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik. Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia dan setiap penyidik yang melanggar ketentuan tersebut maka dapat dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 28 Ayat (3) dan (4) UU Terorisme). Ketika penyidik telah mendapatkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa dan menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme (Pasal 31 Ayat (1) UU Terorisme). Penyidik, penuntut umum atau hakim yang memeriksa perkara tindak pidana terorisme juga berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme (Pasal 29 Ayat (1) UU Terorisme).

Terkait pemeriksaan di pengadilan, terdapat beberapa ketentuan khusus sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU Terorisme, yaitu:

  • Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
  • Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
  • Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
  • Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
  • Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita.
  • Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.
  • Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

 

Sumber:

  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang;
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  4. Firmansyah, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23 No. 2, 2011.

 

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.