Tindak Pidana Pornografi Dalam UU ITE

Tindak Pidana Pornografi Dalam UU ITE

Pengaturan tindak pidana pornografi di Indonesia telah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi). Pembentukan UU Pornografi sendiri dilatar belakangi karena ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Pidana maupun karena peraturan perundang-undangan yang lain tidak mampu mengatasi serta menuntaskan permasalahan perihal tindak pidana pornografi. Hal tersebut mengakibatkan sanksi yang terdapat dalam KUHP yang bersifat umum tidak berlaku lagi bagi pelaku tindak pidana pornografi dengan berdasar pada asas lex specialis derogat legi generali.

Perkembangan teknologi sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, selain memberikan dampak yang positif seperti kemudahan akses informasi, dapat juga memberikan dampak negatif yang timbul pada masyarakat akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, salah satunya penyebaran pornografi melalui internet. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE sendiri tidak mengatur mengenai tindak pidana pornografi secara khusus seperti UU Pornografi.

 

Tindak Pidana pornografi Dalam UU ITE Menggunakan Frasa “Kesusilaan”

Tindak Pidana Pornografi dalam UU ITE memang tidak diatur secara khusus layaknya UU Pornografi, namun menggunakan frasa “muatan yang melanggar kesusilaan” sebagaimana yang terdapat Pasal 27 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Dalam ketentuan tersebut terdapat beberapa tindakan yang diatur yaitu “mendistribusikan”, “mentransmisikan” dan “membuat dapat diakses”. Arti dari 3 (tiga) tindakan tersebut terdapat dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu:

  1. Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.
  2. Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.
  3. Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

Kesusilaan adalah kejahatan atau tindakan yang saling berkaitan dengan permasalahan seksual atau yang berhubungan dengan perilaku yang dianggap sebagai suatu tindakan Susila.[1] Kejahatan kesusilaan tidak hanya menyangkut masalah seksual tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat khususnya hubungan pergaulan rumah tangga seperti kejahatan konvensional yaitu kejahatan dalam dunia internet yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik. Selain itu, menurut Simon, yang dimaksud dengan perbuatan melanggar kesusilaan itu merupakan perbuatan berkenaan dengan hubungan seksual antara wanita dan pria yang dilakukannya perbuatan itu karena untuk meningkatkan serta memuaskan nafsu atau gairah yang dilakukan di depan umum dan dipandang sebagai perbuatan keterlaluan dan apabila orang lain melihat dapat menimbulkan perasaan tidak senang dan malu.[2]

Berkaitan dengan rujukan tersebut, setidaknya terdapat 2 (dua) hal penting yang dapat diketahui mengenai maksud dari “muatan yang melanggar kesusilaan” yaitu Pertama, sebagai pemberlakuan sifat melawan hukum materiil dalam hal kepentingan yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang. Hal tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang menekankan pentingnya larangan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Kedua, frasa “melanggar kesusilaan” menunjukkan adanya sumber hukum yang hidup di masyarakat. Perihal kedua ini memiliki kaitan erat dengan pemberlakuan sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana. Penilaian sifat tercelanya suatu perbuatan didasarkan pada pelanggaran atas hukum yang hidup di masyarakat.

Oleh karena itu, adanya pemberlakuan sifat melawan hukum materiil dalam frasa “melanggar kesusilaan” Pasal 27 ayat (1) UU ITE lebih ditujukan untuk mengantisipasi pemahaman pelanggaran kesusilaan yang tidak sesuai konteks penggunaannya. Dengan kata lain, pelanggaran kesusilaan dalam konteks tindak pidana pornografi dalam UU ITE atau melalui internet harus dilihat tujuan dari pelaku untuk menyebarluaskan konten pornografi sebagai bagian utama. Hal tersebut sejalan dengan konsep dari cyberpornography sebagai perbuatan pelaku yang berinisiatif, mendesain, dan menyebarluaskan informasi yang bermuatan asusila (indecent item).

Sanksi Tindak Pidana Pornografi Dalam UU ITE

Ancaman hukuman atas perbuatan Pasal 27 ayat (1) UU ITE dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Dari muatan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE tersebut menunjukkan bahwa adanya batasan bagi tindakan mendistribusikan”, “mentransmisikan” dan “membuat dapat diakses” suatu sistem elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Kelemahan dari ketentuan UU ITE salah satunya tidak terdapat definisi yang jelas mengenai “muatan yang melanggar kesusilaan” itu sendiri. Bentuk rumusan tersebut menimbulkan di satu sisi menimbulkan ketidakjelasan ukuran yang digunakan untuk menilai melanggar kesusilaan. Kondisi tersebut tentu tidak bersesuaian dengan asas legalitas pada makna lex stricta bahwa rumusan perbuatan pidana tidak boleh membuka ruang penafsiran yang terlalu luas dan tidak jelas.

 

Contoh Kasus Tindak Pidana Pornografi Dalam UU ITE

Merujuk pendapat Djoko Prakoso dan Sianturi, mereka memandang bahwa kejahatan Berkaitan dengan penjelasan tersebut, terdapat salah satu kasus yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu kasus Baiq Nuril. Dimana pada tahun 2012 Terdakwa yang bernama Baiq Nuril Maknun pada sekitar bulan Agustus 2012 merekam percakapan melalui handphone yang berisi rahasia pribadi saksi korban yang bernama Haji Muslim (Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram). Rahasia pribadi tersebut berupa perbuatan asusila yang dilakukan Haji Muslim dengan seorang wanita. Rekaman ini dilakukan oleh terdakwa dengan menggunakan handphone miliknya ketika Haji Muslim meneleponnya. Lalu pada Bulan Desember 2014, hasil rekaman itu diminta dan lalu diserahkan kepada Haji Imam Mudawin sebagai bahan untuk melaporkan tingkah laku Haji Muslim ke DPRD Kota Mataram. Awalnya Baiq Nuril Maknun tidak bersedia memberikan rekaman tersebut, namun akhirnya menyerahkannya dengan syarat, Haji Imam Mudawin tidak memberikan rekaman tersebut ke orang lain, dan hal ini disetujui oleh Haji Imam Mudawin. Singkat cerita hasil rekaman tersebut menyebar ke banyak orang di Kota Mataram, sehingga Haji Muslim merasa nama baiknya tercemar dan peristiwa ini pun bergulir di Pengadilan Negeri Mataram.[3] Kasus ini sempat dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Mataram karena tidak terbukti melakukan tindak pidana Pasal 27 ayat (1) UU ITE sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram nomor 265/Pid.sus/2017/PN.MTR. Namun, atas putusan tersebut, Penuntut Umum mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 574 K/Pid. Sus/2018 menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Mataram yang membebaskan terdakwa dinilai tidak tepat dan salah dalam menerapkan peraturan atau tidak menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya. Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa pemanfaatan dan penggunaan data pribadi personal harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan di atas maka terdakwa telah memenuhi unsur delik dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan karena itu Terdakwa dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan pidana denda sejumlah Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.[4]

Dalam kasus tersebut, terjadi perbedaan interpretasi terhadap perbuatan terdakwa. Pengadilan Negeri Mataram membebaskan terdakwa karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang dituduhkan oleh Penuntut Umum. Namun Mahkamah Agung menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dituduhkan oleh Penuntut Umum. Perbedaan interpretasi adalah wajar, namun kecermatan dalam memberikan tafsir atas unsur kesengajaan dan unsur mendistribusikan/mentransmisikan/dapat diaksesnya dalam tindak pidana elektronik menjadi aspek penting untuk diatur dalam norma yang tidak multitafsir.

 

 

Penulis: Rizky Pratama J, S.H

Editor: Robi Putri J, S.H., M.H., C.T.L., C.L.A & Mirna R, S.H., M.H., C.C.D

 

[1] Mudzakkir, Analisis Atas Mekanisme Penanganan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan, Laporan Akhir Penulisan Karya Ilmiah, Kementerian Hukum dan Ham RI, Yogyakarta, 2010, halaman 12.

[2] P.A.F.Lamintang dan T.Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Ed. II, Cet. I, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2009, halaman 10-11.

[3] Christoforus Ristianto, Diamanty Meiliana, 7 Tahun Baiq Nuril, Berawal dari Pelecehan, Tersangka UU ITE, hingga Terima Amnesti”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2019/07/30/09564421/7-tahun-baiq-nuril-berawal-dari-pelecehan-tersangka-uu-ite-hingga-terima?page=all

[4] Novina Putri Bestari, Baiq Nuril Masuk Penjara Sebar Konten Asusila, UU ITE Diubah, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20231123190025-37-491560/baiq-nuril-masuk-penjara-sebar-konten-asusila-uu-ite-diubah

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.