Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan harkat martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Tindakan ini sangat banyak menyasar khususnya perempuan dan anak. Bahkan pelakunya biasanya merupakan kelompok/jaringan lintas negara sehingga menjadi salah satu tindakan yang mendapat perhatian khusus dari masyarakat internasional.

 

Tindak pidana perdagangan orang di Indonesia telah diatur secara khusus pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut ‘UU TPPO’). Undang-undang tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Berdasarkan Penjelasan Umum UU TPPO, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu

Pasal 1 Angka 1 UU TPPO menyatakan:

“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

 

Tindak pidana perdagangan orang pada UU TPPO diatur pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 UU TPPO. Ketentuan pokok tindak pidana perdagangan orang dapat dilihat pada Pasal 2 Ayat (1) UU TPPU yang menyatakan:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

 

Unsur-unsur dari tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU TPPO yaitu:

  1. Setiap orang

Yaitu pelakunya dapat berupa orang perseorangan ataupun korporasi (Pasal 1 Angka 4 UU TPPO).

  1. Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.

Unsur ini merupakan unsur proses atau tindakan dimana terdapat urutan kejadian tiundak pidana perdagangan orang yang terjadi.

  1. Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.

Unsur ini merupakan modus-modus yang digunakan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang.

  1. Untuk tujuan mengekploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia

Ini merupakan unsur tujuan, yaitu sesuatu yang menjadi sebab atau akibat dari dampak terjadinya tindak pidana perdagangan orang.[1]

 

Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU TPPO menerangkan bahwa kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.

 

Dalam tindak pidana perdagangan orang terdapat subyek dan obyek perdagangan orang. Subyek dalam hal ini adalah pelaku yang mana telah dijelaskan bahwa pelaku dapat merupakan orang perseorangan atau korporasi. Korporasi dapat dikategorikan sebagai pelaku apabila memenuhi ketentuan Pasal 13 Ayat (1) UU TPPO yang menyatakan:

“Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”

 

Terhadap pelaku korporasi, sanksi pidana yang dapat diberikan diatur pada Pasal 15 UU TPPO yaitu:

  • “Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
  • Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
    1. pencabutan izin usaha;
    2. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
    3. pencabutan status badan hukum;
    4. pemecatan pengurus; dan/atau
    5. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.”

 

Sedangkan yang dimaksud dengan obyek tindak pidana perdagangan orang adalah korban, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1 Angka 3 UU TPPO). Dalam UU TPPO juga mengatur adanya korban anak sebagaimana contohnya pada Pasal 5 dan 6 UU TPPO. Siapa yang dimaksud dengan anak berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU TPPO adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., CCD.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

 

Sumber:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women)
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
  3. Anggie Rizqita Herda Putri dan Ridwan Arifin, “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia,” Jurnal Res Judicata, Vol. 2 No. 1, Juni 2019.

 

[1] Paul SinlaEloe, “Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Setara Press, Malang, 2017, hlm. 4-5, dikutip dari Anggie Rizqita Herda Putri dan Ridwan Arifin, “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia,” Jurnal Res Judicata, Vol. 2 No. 1, Juni 2019, hlm. 176.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.