Tindak Pidana Narkotika
Kejahatan narkotika merupakan suatu kejahatan yang berbahaya, merusak generasi muda serta karakter dan fisik masyarakat atau penggunanya. Kejahatan tersebut juga dapat dikaitkan dengan sejumlah kejahatan, seperti perampokan, pencurian, pencucian uang, dan terorisme. Oleh karena itu, akibat penggunaan narkotika tidak hanya berdampak buruk bagi pengguna sendiri tetapi juga secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Kejahatan narkotika ini telah berlangsung sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini. Bahkan menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN), pada masa kolonial Belanda sudah terdapat pengaturan mengenai tindak pidana narkotika.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Pemerintah membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) yang mana Menteri Kesehatan berwenang dalam hal produksi dan pengelolaan terkait obat-obatan berbahaya, sebagaimana diatur dalam State Gaette No.419, 1949. Pada masa ini, karena negara baru terbentuk dan agresi militer Belanda yang masih terus berlangsung hingga dua kali serta pemberontakan dimana-mana, pengaturan tentang Narkoba tidak ada perubahan hingga tahun 1970. Pada tahun 1970 bersamaan dengan perang Vietnam, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.[1]
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan undang-undang narkotika warisan Belanda (Verdovende Middelen Ordonantie tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (UU 9/1976). Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika, dengan mengatur secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk Menteri Kesehatan. Beriringan dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU 9/1976, tentang Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, menyusul dibuatnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.[2]
Saat ini pengaturan mengenai tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika). Dalam Pasal 1 Angka 1 UU Narkotika mendefinisikan narkotika sebagai berikut:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Dalam Pasal 6 UU Narkotika, narkotika dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu golongan I, golongan II, dan golongan III. Masalah penyalahgunaan narkotika telah menjadi masalah nasional maupun masalah internasional yang tiada henti dibicarakan. Pasal 7 UU Narkotika menyatakan bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun bentuk tindak pidana narkotika dapat berupa penyalahgunaan atau melebihi dosis, pengedaran narkotika dan jual beli narkotika.[3]
Dalam ketentuan UU Narkotika, terdapat beberapa kategori tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 147 termasuk di dalamnya hukuman pidana terhadap penyalahgunaan narkotika, pengedaran narkotika dan jual beli narkotika. Sebagai coontoh, salah satu perbuatan yang dapat dikenakan tindak pidana narkotika ialah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 114 UU Narkotika, yang berbunyi:
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
UU Narkotika membagi 3 (tiga) golongan narkotika sebagaimana dimaksud Pasal 6 UU Narkotika dan jenis narkotika disebutkan secara rinci dalam lampiran I UU Narkotika sebagai berikut:
- Golongan I, narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun jenis narkotika golongan I adalah Opium mentah, Kokain mentah, Kokaina, Tanaman ganja dan jenis lainnya yang diatur dalam Golongan I Lampiran I UU Narkotika
- Golongan II, narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun jenis narkotika golongan II adalah Benzetidin, Difenoksin, Morfin dan jenis lainnya yang diatur dalam Golongan II Lampiran I UU Narkotika.
- Golongan III, narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Adapun jenis narkotika golongan III adalah Etilmorfina, Nikokodina, Propiram dan jenis lainnya yang diatur dalam Golongan III Lampiran I UU Narkotik.
Selain ketentuan dalam UU Narkotika, tindak pidana narkotika saat ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP). UU KUHP ini disahkan pada awal Januari 2023 lalu dan menandakan bahwa Indonesia sudah meninggalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terjemahan Belanda. Namun, penerapan UU KUHP ini akan berlaku secara efektif pada tahun 2026 mendatang. UU KUHP memasukkan tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana khusus. Ketentuan tindak pidana narkotika dapat ditemukan pada Pasal 609 sampai dengan Pasal 611. Artinya ini menunjukkan bahwa UU KUHP merubah beberapa ketentuan dalam UU Narkotika sebagaimana dinyatakan dalam 620 UU KUHP yang berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang ini dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang masing-masing.
Dengan demikian, di era teknologi dan informasi yang berkembang dengan pesat, perkembangan tindak pidana narkotika mengalami perkembangan yang makin pesat pula. Hal ini dapat dilihat dari awal lahirnya pengaturan terkait tindak pidana narkotika sampai pengaturan yang berlaku saat ini. Semakin berkembangnya tindak pidana narkotika ini, beberapa rumusan dalam UU Narkotika diubah dalam UU KUHP.
Penulis: Rizky P.J, S.H
Editor: Mirna. R, S.H., M.H & R. Putri. J, S.H.,M.H.,CTL., CLA
[1] Humas BNNK Kuningan, Sejarah Indonesia Dalam Memerangi Narkoba, https://kuningankab.bnn.go.id/sejarah-indonesia-dalam-memerangi-narkoba/
[2] Ibid.
[3] Moh. Taufik Makarao, Suhasril & Moh Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, halaman 21
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPasal 30C Huruf h Undang-Undang Kejaksaan Berikut Penjelasannya Dibatalkan...
Akibat Hukum Keterlambatan Pelaporan Pajak
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.