Tindak Pidana Makar Pada Negara

Pada dasarnya hukum pidana memang berfokus pada pengaturan tentang masalah kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Hukum pidana menjadi penjaga agar masyarakat terhindar dari kejahatan. Seiring perkembangan zaman yang semakin maju dan modern, maka semakin kompleks pula permasalahan yang ada di suatu negara. Salah satu permasalahan tersebut adalah kasus tindak pidana makar.[1] Segala bentuk kejahatan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk perbuatan makar. Tindakan makar dalam KUHP terdiri dari makar yang dilakukan terhadap keamanan negara dan Makar terhadap negara sahabat.

Dilihat dari pengertiannya, istilah makar berasal dari bahasa Belanda yang diartikan secara harfiah adalah penyerangan atau serangan.[2] Makar diatur dalam Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, 140 KUHP yang berbunyi:

Pasal 87

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.

Pasal 104

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 106

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107

“(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebbut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 108

(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun:

  1. orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata;
  2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.

(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 139a

“Makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Pasal 139b

“Makar dengan maksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal 140

(1) Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Jika mekar terhadap nyawa mengakibatkan kematian atau dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

(3) Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Makar yang dimuat dalam Pasal 139a, 139b, dan 140 KUHP tidak masuk dalam bab mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk dalam kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya.[3] Dilihat dari ketentuan-ketentuan tersebut, langsung menyebutkan perbuatan makar namun tidak merumuskan definisi yang pasti mengenai perbuatan makar itu sendiri. Selain tidak disebutkan dalam KUHP para ahli hukum di Indonesia juga banyak menafsirkan tindak pidana makar ini seperti pendapat Noyon dan Langemeijer yang mengemukakan bahwa:

Walaupun kebanyakan makar merupakan tindakan kekerasan atau setidak-tidaknya merupakan percobaan melakukan tindak kekerasan seperti itu, tidak setiap makar itu selalu harus diartikan sebagai tindak kekerasan, karena dalam praktik orang juga dapat menjumpai beberapa makar yang dapat dilakukan orang tanpa melakukan sesuatu tindak kekerasan, misalnya makar untuk mengubah bentuk pemerintahan yang sah, dimana makar tersebut hanya merupakan suatu cara atau suatu middel untuk mencapai tujuan tertentu.”[4]

Berikut contoh-contoh kasus delik makar yang pernah terjadi yaitu kasus Mohammad Fahri Al-Habsyi alias Fahri Bin Abdurahman dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 140/PID/2020/PT DKI dalam pokok perkaranya bahwa terdakwa melakukan perbuatan mengancam membunuh lewat video yang dibuatnya melalui sosial media terhadap presiden Joko Widodo. Sehingga diputus bersalah dan telah memenuhi ketentuan Pasal 104 KUHP, Pasal 110 jo Pasal 87.[5] Selain itu, terdapat kasus gugatan Harianto dalam Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 64/Pdt.G/2017/PN.Mlg. Dalam pokok perkara penggugat menggugat Presiden, Ketua MPR, Hakim MA, Pemerintah Kota Malang, Kementerian Keuangan RI dan Bank Indonesia atas dasar Perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Penggugat menyebutkan bahwa Presiden, Ketua MPR dan Hakim MA tidak sah dan batal demi hukum dalam jabatannya. Atas dasar demikian hakim dalam amar putusannya memutuskan hal tersebut adalah bentuk nyata perbuatan hukum yang dikualifikasikan sebagai perbuatan makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah yang sah sesuai pasal 107 KUHP. [6]

Definisi tindak pidana makar yang tidak pasti tersebut membuat permasalahan mendasar bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menerapkan ketentuan mengenai makar. Oleh karena itu, semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP). Definisi tindak pidana makar dapat dilihat dalam Pasal 160 UU KUHP bahwa tindak pidana makar adalah niat untuk melakukan serangan yang telah diwujudkan dengan persiapan perbuatan tersebut. Lebih lanjut, makar dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara seperti dalam KUHP. Pengaturan makar dapat dilihat dalam Pasal 191 sampai dengan Pasal 196 UU KUHP yang terdiri atas makar terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden, makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan makar terhadap Pemerintah. Apabila dilihat dalam UU KUHP pengaturan terkait makar lebih rinci dibandingkan dengan KUHP sebelumnya.

Dengan adanya UU KUHP yang mengatur lebih rinci terkait dengan tindakan atau perbuatan tindak pidana makar, dapat menjadi acuan bagi penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menerapkan ketentuan terkait makar. Hal ini bertujuan agar perbuatan makar tidak dimaknai hanya sebatas upaya penggulingan atau kekerasan terhadap pemerintah, melainkan dapat dinilai secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai faktor salah satunya rumusan perundang-undangan.

 

Penulis : Rizky. P.J. S.H.

Editor: R. Putri. J. S.H., M.H., CTL., CLA & Mirna. R. S.H., M.H., CCD

 

[1] Syahra, penafsiran Pasal-Pasal Makar Terhadap Kasus-Kasus Politik Di Era Presiden Joko Widodo, JOM Fakultas Hukum Universitas Riau, Volume VI No. 2 Juli – Desember 2019, halaman 2.

[2] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, halaman. 7.

[3] Ibid.

[4] Erdianto Effendi, Makar Dengan Modus Menggunakan Media Sosial, Jurnal Hukum Pidana Universitas Trisakti, Vol.1 No.2 Tahun 2019, halaman 5

[5] Direktori Putusan Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 140/PID/2020/PT DKI, halaman 78

[6] Direktori Putusan Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri Malang Nomor 64/Pdt.G/2017/PN.Mlg, halaman 91

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.